Fenomena
bangsa di negeri ini, cukup
memprihatinkan, khususnya dalam hal penerpakan hukum kenegaraan atau
pemerintahan, dimana para pemegang kendali sudah mulai berbalik arah pemikiran
tentang masa depan bangsa dan negara. Sebagai faktanya yaitu merajalelanya
kecurangan dan terpendamnya kejujuran dan keamanahan dalam berkehidupan. cukup
menarik untuk dikaji hadits Rasulullah SAW di bawah ini;
Prediksi
Rasulullah SAW tentang kondisi umat ke depan, saat ini sudah terbukti; “Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah SAW
bersabda: “Akan datang tahun-tahun penuh dengan
kedustaan yang menimpa manusia, pendusta dipercaya, orang yang jujur
didustakan, amanat diberikan kepada pengkhianat, orang yang jujur dikhianati,
dan Rawaibidhah turut bicara.” Lalu beliau
ditanya, “Apakah al-ruwaibidhah itu?” Beliau menjawab,“Orang-orang bodoh yang mengurusi urusan perkara umum” (HR Ibnu Majah).
Hadits ini diriwayatkan
Ibnu Majah dalam Sunan-nya, bab syiddatu al-zaman (kerasnya zaman): 4026. Sanadnya muttashil (bersambung), namun pada kualitas
rawinya terdapat dua orang rawi bermasalah, yaitu Ishaq bin Abi Al-Furat dari
kalangan kibar al-tabi’in (generasi tabi’in tua) yang
dikomentari oleh Maslamah bin Qasim, Ibnu Hajar al-Asqalani dan Al-Dzahabi
sebagai rawi majhul (tidak dikenal
identitasnya).
Juga rawi yang bernama
Abdul Malik bin Qudamah bin Ibrahim dari kalangan generasi tabi’ at-tabi’in, yang dikomentari oleh Abu Hatim
sebagai dha’if al-Hadits (Haditsnya lemah), pun Al-Nasa’i
mengomentarinya laisa bi al-qawi (tidak
kuat). Imam Al-Dzahabi dan Ibnu Hajar al-Asqalani menilainya dha’if (lemah). Maka, secara kualitas Hadits ini dikategorikan Hadits dha’if.
Salah
satu penguat (Syahid) Selain riwayat di atas dari jalur
sahabat Abu Hurairah ra, Imam Ahmad juga meriwayatkan matan Hadits tersebut
dari dua jalur yang berbeda, yaitu dari sahabat Abu Hurairah ra dalam bab Musnad Abi Hurairah :7571
dan dari Anas bin Malik ra dalam bab Musnad Anas bin Malik.
Hadits dari jalur Abu Hurairah ra sebagai berikut:
“Dari Abu
Hurairah ra berkata, Rasulullah SAW
bersabda: “Sesungguhnya akan datang kepada manusia tahun-tahun penipuan,
di dalamnya orang yang berdusta dipercaya sedang orang yang jujur didustakan,
orang yang berkhianat diberi amanah, sedang orang yang amanah dikhianati, dan
di dalamnya juga terdapat al-ruwaibidhah.” Ditanya, “Apa itu al-ruwaibidhah wahai Rasulullah?” Beliau
bersabda: “Yaitu orang bodoh yang berbicara (memberi fatwa) dalam urusan
manusia” (HR Ahmad).
Dalam
Hadits
lain dari Abu Hurairah ra dengan
kualitas yang sama, sekalipun beberapa rawi yang terdapat dalam sanad Hadits
ini berbeda dengan jalur Hadits pertama. Bahkan dinilai sebagai rawi-rawi
yang tsiqah (kredibel) dan dhabit (kuat hafalannya), namun dijumpai adanya
dua rawi yang divonis dha’if sebagaimana penjelasan di atas. Sedang Hadits
riwayat Imam Ahmad dari jalur Anas bin Malik ra sebagai berikut:
“Dari Anas bin Malik ra berkata,
Rasulullah SAW bersabda, “Sebelum munculnya Dajjal akan ada beberapa
tahun munculnya para penipu, sehingga orang jujur didustakan, sedang pendusta dibenarkan. Orang yang amanat dikhianati, sedang
orang yang suka berkhianat dipercaya, dan para al-ruwaibidhah angkat
bicara,” ada yang bertanya, apa itu ruwaibidhah? Rasulullah SAW bersabda, “Orang fasik
yang berbicara tentang persoalan publik” (HR Ahmad).
Disamping
Hadits
tersebut di atas, terdapat Hadits lain yang berbicara hal ini, sehingga menurut
kajian penulis, dengan melihat beberapa jalur yang ada, maka Hadits yang
berbicara tentang hal ini dapat dikategorikan sebagai Hadits hasan li–ghairihi (Hasan karena dukungan dari
jalur lain). Hal senada dikemukakan oleh kritikus Hadits, Syu’aib Al-Arnauth,
dalam Ta’liq Musnad Ahmad no. 7912, yang menilai riwayat
Ibnu Majah sebagai Hadits hasan, pun Ibnu
Hajar al-Asqalani mengomentari sanadnya dengan jayyid (bagus).
Bahkan kritikus Hadits
lain, Nashirudin al-Albani, men-shahih-kan riwayat
Ibnu Majah sebagaimana termaktub dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibni Majah no. 4036.
Maka, Hadits ini dapat dijadikan sebagai dalil-argumentasi. Terlebih lagi, hal
yang dibicarakan terkait dengan pesan moral dan perintah menjauhkan diri dari
sifat-sifat tercela.
Penjelasan Isi-kandungan
Hadits:
Menukil
penjelasan Imam Al-Suyuthi, maksud dari kata al-khada’ dalam Hadits di atas adalah “Al-Khadda’ al-makru wa al-hilatu, wa idhafatu al-khadda’ ila
as-sanawat majaziyah wal–muradu ahlu as-sanawati” (Al Khadda’ artinya makar dan muslihat.
Dikaitkannya Al Khadda’ kepada al-sanawat (tahun-tahun) merupakan bentuk
kiasan/majaz, maksudnya adalah orang yang hidup di tahun-tahun tersebut) (Syarh Sunan Ibni Majah, 1/292).
Sementara
kata al–ruwaibidhah, merupakan bentuk tashghir (pengecilan) dari al-rabidh yang berarti berlutut. Lalu kata al–rabidh yang makna aslinya berlutut, dipinjam
penggunaannya (isti’arah) menjadi makna yang lain,
yaitu posisi rendah (inferior). Seolah-olah
menggambarkan orang yang berlutut itu sebagai orang yang rendah kemampuan dan
keilmuannya, namun banyak berbicara dan mengeluarkan statement tanpa didasari oleh ilmu yang memadai
dan dipandang baik oleh para pengagumnya, sehingga memiliki pengaruh dan dampak
yang luas.
Tambahan
dari Imam Al-Suyuthi menyatakan “Qauluhu wa yanthiqu fiha
al-ruwaibidhah tafsiruhu ma marra min Haditsi Anas’; qulna ya Rasulallah ma dzahara fi al-umami qablana?
qala al-malaku fi shigharikum wa al-fakhisyatu fi kibarikum wa al-‘ilmu fi
rizdalatikum wa al-rajulu al-tafahu al-radzilu wa al-haqiru. Wa al-ruwaibidhah
tasghiru rabidhah wahuwa al-‘ajizu allladzi rabadha ‘an ma’ali al-umuri wa
qa’ada ‘an thalabiha”, (Sabdanya “Dan ar-ruwaibidhah berbicara”, penjelasannya adalah
seperti yang disebutkan dalam Hadits Anas:
“Kami berkata; Wahai
Rasulullah, apa yang nampak dari umat-umat sebelum kita?” Beliau bersabda:
“Raja (pemimpin)-nya justru datang dari orang kecil di antara kamu, para pelaku
kekejian justru adalah orang-orang besar kalian, dan ilmu justru ada pada orang
jahat dan hinanya kalian (al-rajul al-tafih).
Al-Ruwaibidhah adalah bentuk tasghir (pengecilan) dari rabidhah, yaitu orang yang lemah, yang berlutut pada
orang-orang mulia yang memahami urusan, lalu dia duduk untuk mendapatkan
sesuatu darinya) (Syarh Sunan Ibni Majah, 1/292).
Hadits
di atas menegaskan bahwa Hadits ini memberikan informasi beberapa
hal.
Pertama,
memberi peringatan tentang bahaya dan dampak berbicara tanpa landasan ilmu.
Sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam Qs Al-Baqarah;2:168-169 dan Qs Al-Isra’;17:36.
Kedua,
penjelasan pentingnya sifat jujur sekaligus peringatan keras bahaya dusta, yang
selaras dengan sabda Rasulullah SAW dari Abdullah bin Mas’ud ra yang artinya:
“Hendaknya kalian
bersikap jujur, karena kejujuran menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan itu
menuntun ke surga. Bila seseorang terus bersikap jujur dan berjuang keras
melaksanakannya, ia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur (shidiq). Jauhilah kedustaan, karena ia menyeret kepada
keburukan, dan keburukan menjerumuskan ke neraka. Bila seseorang terus berdusta
dan mempertahankannya, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta” (HR
Muslim).
Ketiga,
Hadits ini menjelaskan, hendaknya seseorang memilih pemimpin yang memiliki
kualifikasi dan kemampuan, baik ilmu, amanah, dan kejujuran, di samping
pertimbangan lainnya.
Keempat, Hadits ini menunjukkan jalan keluar ketika menghadapi
situasi kacau semacam itu dengan kembali kepada ilmu (Al-Qur’an dan Al-Sunnah)
dan ulama.
Kelima,
Hadits ini mengingatkan pentingnya menjaga amanah dan bahaya menyia-nyiakannya,
di mana sejalan dengan penjelasan Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali:
‘Wa madhmunu ma dzukira min asyrat al-sa’ah fi hadza al-Haditsi
yarji’u ila al-umur tawassadu ila ghairi ahliha, kama qala al-Nabiyu
Shallallahu ‘alaihi wa sallama liman sa‘alahu ‘an al-sa’ati; idza wusida
al-amru ila ghairi ahlihi fantazhirri al-sa’ati’. (Kandungan
yang tertera dalam Hadits ini berupa tanda-tanda datangnya kiamat kembali pada
persoalan-persoalan banyaknya urusan yang diserahkan pada yang bukan ahlinya,
seperti sabda Nabi SAW pada orang yang bertanya tentang arti al-Sa’ah (kiamat-kehancuran): “(yaitu) Jika urusan
diserahkan pada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya)” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, 1/139).
Kesimpulan
Uraian
dari beberapa Hadits di atas dapat memberi suatu peringatan akan datangnya suatu
masa, di mana manusia dipenuhi berbagai intrik dan tipu-muslihat, serta
kebohongan (hoax). ilustrasi ini dijadikan oleh Rasulullah SAW
sebagai tanda-tanda dekatnya hari kiamat, di mana banyak pembohong dicitrakan
sebagai orang jujur. Sebaliknya, orang jujur
dikriminalisasi sebagai pembohong, para pengkhianat dipandang amanah,
disambut bak pahlawan. Sementara orang yang amanah dianggap
pengkhianat dan dikriminalisasi, serta orang-orang bodoh dipercayai untuk
mengurusi persoalan masyarakat. Akibatnya, terjadi ketidakpastian, kekacauan (chaos) dan kehancuran.
Karena
itulah jika kita sudah berada di ujung zaman seperti saat ini, esan penulis
jagan tinggalkan dua hal yaitu shalat dan tetap dzikrul maut (senantiasa ingat
akan kematian). Wallahu a’lam bis-shawab.

Tidak ada komentar: