Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya Majelis Tarjih dan
Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah senantiasa menerbitkan putusan
penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah, sebagai pedoman bagi
ummat Islam dalam melaksanakan ibadah puasa Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri dan
Hari Raya Idul Adha atau Idul Qurban. Sebelum masuk pada pembahasan lebih
detail tentang hisab, mari kita pahami proses dan kronologinya, pembahasannya
di bawah ini;
Pelopor
Metode Hisab di Indonesia adalah Muhammadiyah
Dengan
hisab, kita dapat menghitung posisi-posisi geometris benda-benda langit guna menentukan
penjadwalan waktu di muka bumi, sehingga dapat membuat perhitungan awal bulan
kamariah dan penanggalan. Dalam perjalanannya, Muhammadiyah telah berperan
aktif dan kreatif dalam mengembangkan ilmu hisab di Indonesia dan dapat
dikatakan sebagai pelopor penggunaan hisab untuk penentuan bulan kamariah yang
terkait dengan ibadah.
Dalam
penentuan awal bulan kamariah, Muhammadiyah tidak mendasarkan pada metode hisab
urfi, karena perhitungannya didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi rata-rata
dalam mengelilingi Matahari, sehingga menghitung umur bulan secara tetap, yakni
pematokan hari dalam bulan-bulan hijriyah sebanyak 30 hari untuk bulan ganjil
(bulan ke-1, 3, 5, 7, 9, 11) dan 29 hari untuk bulan genap (bulan ke-2, 4, 6,
8, 10, 12) secara terus menerus dalam satu tahun, kecuali bulan Zulhijah pada
tahun kabisat berjumlah 30 hari.
Muhammadiyah mengacu pada gerak faktual Bulan di langit sehingga bermula dan
berakhirnya bulan kamariah berdasarkan pada kedudukan atau perjalanan Bulan
benda langit tersebut. Inilah yang dinamakan dengan hisab hakiki. Penggunaan
hisab hakiki oleh Muhammadiyah ini disebabkan perhitungan yang dilakukan
terhadap peredaran Bulan dan Matahari menurut hisab ini harus sebenar-benarnya
dan setepat-tepatnya berdasarkan kondisi Bulan dan Matahari pada saat itu.
Lebih
jauh, Muhammadiyah menggunakan hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal,
yakni Matahari terbenam lebih dahulu daripada Bulan walaupun hanya berjarak
satu menit atau kurang. Ide ini berasal dari pakar falak Muhammadiyah Wardan
Diponingrat yang tidak hanya dipahami berdasarkan pada QS. Yasin ayat 39-40,
melainkan juga menggunakan perangkat lain seperti hadis dan konsep fikih
lainnya serta dibantu ilmu astronomi.
Syarat
Hisab Hakiki Kriteria Wujudul Hilal
Dalam
buku Pedoman Hisab Muhammadiyah dijelaskan bahwa dengan hisab hakiki kriteria
wujudul hilal, bulan kamariah baru dimulai apabila pada hari ke-29 berjalan
saat matahari terbenam terpenuhi tiga syarat berikut secara kumulatifDalam buku
Pedoman Hisab Muhammadiyah dijelaskan bahwa dengan hisab hakiki kriteria
wujudul hilal, bulan kamariah baru dimulai apabila pada hari ke-29 berjalan
saat matahari terbenam terpenuhi tiga syarat berikut secara kumulatif, yaitu
(1) telah terjadi ijtimak, (2) ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, dan
(3) pada saat matahari terbenam Bulan (piringan atasnya) masih di atas ufuk.
Apabila salah satu dari kriteria tersebut tidak dipenuhi, maka bulan berjalan
digenapkan tiga puluh hari dan bulan baru dimulai lusa.
Tidak
semua metode hisab hakiki mensyaratkan keberadaan Bulan di atas ufuk saat
matahari terbenam pada hari konjungsi. Dalam hisab hakiki kriteria ijtimak
sebelum gurub (al-ijtima’ qabla al-gurub), misalnya, apabila ijtimak terjadi
sebelum matahari tenggelam, maka malam itu dan esok harinya adalah bulan baru,
dan apabila ijtimak terjadi sesudah matahari terbenam, maka malam itu dan esok
harinya adalah hari penggenap bulan berjalan, dan bulan baru dimulai lusa.
Kriteria ini tidak mempertimbangkan apakah pada saat matahari terbenam bulan
berada di atas ufuk atau di bawah ufuk.
Pahadal,
ufuk menjadi garis penentu apakah Bulan baru sudah wujud atau belum. Apabila
pada saat terbenamnya matahari, Bulan telah mendahului matahari dalam gerak
mereka dari barat ke timur, artinya saat matahari terbenam Bulan berada di atas
ufuk, maka itu menandai dimulainya bulan kamariah baru. Akan tetapi apabila
Bulan belum dapat mendahului matahari saat gurub, dengan kata lain Bulan berada
di bawah ufuk saat matahari tenggelam, maka bulan kamariah baru belum mulai;
malam itu dan keesokan harinya masih merupakan hari dari bulan kamariah
berjalan.
Bagi
Muhammadiyah, menjadikan keberadaan Bulan di atas ufuk saat matahari terbenam
sebagai kriteria mulainya bulan kamariah baru juga merupakan abstraksi dari
perintah-perintah rukyat dan penggenapan bulan tiga puluh hari bila hilal tidak
terlihat. Hilal tidak mungkin terlihat apabila di bawah ufuk. Hilal yang dapat
dilihat pasti berada di atas ufuk. Apabila Bulan pada hari ke-29 berada di
bawah ufuk sehingga tidak terlihat, lalu bulan bersangkutan digenapkan 30 hari,
maka pada sore hari ke-30 itu saat matahari terbenam untuk kawasan normal Bulan
sudah pasti berada di atas ufuk.
Mengapa
Bukan Hisab Hakiki Imkanur Rukyat?
Jika menolak kriteria ijtimak sebelum gurub (al-ijtima’ qabla al-gurub),
mengapa Muhammadiyah tidak mengadopsi hisab hakiki kriteria imkanur rukyat yang
di dalamnya juga mensyaratkan Bulan berada di atas ufuk saat matahari tenggelam
pada hari konjungsi?
Jawaban yang mungkin dapat ditelaah karena para ahli hingga saat ini belum
sepakat dalam menentukan berapa derajat ketinggian Bulan di atas ufuk untuk
dapat dilihat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang kemudian diadopsi Kementerian
Agama (Kemenag) misalnya menyebut jika tinggi bulan ketika terbenam matahari di
seluruh Indonesia di atas dua derajat, maka besok akan menjadi awal bulan baru.
Hal ini berbeda dengan lembaga fatwa lain yang meski sama-sama menggunakan kriteria
imkanur rukyat namun parameter tinggi bulan berbeda satu sama lain.
Karenanya,
hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal lebih memberikan kepastian
dibandingkan dengan hisab hakiki kriteria imkanur rukyat. Bagi Muhammadiyah,
jika posisi bulan sudah berada di atas ufuk (pada saat terbenam matahari di
seluruh Indonesia), seberapa pun tingginya (meskipun hanya 0.1 derajat), maka
esoknya adalah hari pertama bulan baru.
Redaksi
Pendukung
Dalam ilmu falak, hisab berarti melakukan perhitungan
posisi geometris bulan dan matahari. Hisab tidak ada hubungannya dengan
penampakan. Menurut Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Rahmadi
Wibowo, semangat yang ditunjukkan Al Quran dalam menentukan awal bulan ialah
menggunakan metode hisab, bukan rukyat.
Menurutnya, ada dua ayat yang mengandung isyarat yang
jelas kepada hisab, QS. Ar-Rahman ayat 5. Ayat ini tidak sekadar memberi
informasi, tetapi juga mendorong untuk melakukan perhitungan terhadap gerak
matahari dan bulan. Sedangkan dalam QS. Yunus ayat 5 menyebutkan bahwa
menghitung gerak matahari dan bulan sangat berguna untuk mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan waktu.
Selain itu, hadis-hadis yang memerintahkan rukyat
adalah perintah berillat. Illat ialah alasan di balik penetapan
suatu hukum. Dalam kasus hadis tentang penentuan awal bulan hijriyah, ilatnya
ialah kondisi umat pada saat itu masih belum mengenal tulis baca dan hisab
(ummi), sehingga untuk memudahkan Nabi SAW memerintahkan sarana yang tersedia
saat itu, yaitu rukyat.
Oleh karen itu, maka rukyat bukan bagian dari ibadah
mahdhah, melainkan alat untuk menentukan waktu. Sebagai alat, rukyat dapat
diubah dengan model penghitungan secara eksak demi tercapainya suatu tujuan.
Lagi pula, dalam hadis Nabi SAW tentang penentuan awal bulan, yang menjadi
ibadah mahdhah adalah puasa, bukan rukyat.
“Saya kira persoalan ini banyak sekali ditulis para
ulama kontemporer seperti Syaikh Yusuf Al Qaradhawi dan Prof Syamsul Anwar
bahwa rukyat bukan ibadah. Artinya, ia hanya sarana, sehingga tidak melakukan
rukyat, tidak melanggar syari’at,”
Jika rukyat tidak dipakai, maka Muhammadiyah lebih
memaksimalkan peran hisab. Dan kriteria hisab yang digunakan Muhammadiyah ialah
hisab hakiki wujudul hilal. Kriteria dengan metode ini adalah telah terjadi
ijtimak (konjungsi); pada saat terbenam matahari, bulan belum terbenam; dan
pada saat terbenamnya matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk.
Menjadikan keberadaan Bulan di atas ufuk saat matahari terbenam sebagai
kriteria mulainya bulan kamariah baru merupakan abstraksi dari
perintah-perintah rukyat dan penggenapan bulan tiga puluh hari bila hilal tidak
terlihat

Tidak ada komentar: