PENENTUAN AWAL BULAN (1) Hisab Hakiki dengan kriteria Wujudul Hilal

PENENTUAN AWAL BULAN (1)
Hisab Hakiki dengan kriteria Wujudul Hilal
Oleh. Majelis Tarjih dan Tadjid PPM

 

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah senantiasa menerbitkan putusan penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah, sebagai pedoman bagi ummat Islam dalam melaksanakan ibadah puasa Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha atau Idul Qurban. Sebelum masuk pada pembahasan lebih detail tentang hisab, mari kita pahami proses dan kronologinya, pembahasannya di bawah ini;

 


Pelopor Metode Hisab di Indonesia adalah Muhammadiyah

Dengan hisab, kita dapat menghitung posisi-posisi geometris benda-benda langit guna menentukan penjadwalan waktu di muka bumi, sehingga dapat membuat perhitungan awal bulan kamariah dan penanggalan. Dalam perjalanannya, Muhammadiyah telah berperan aktif dan kreatif dalam mengembangkan ilmu hisab di Indonesia dan dapat dikatakan sebagai pelopor penggunaan hisab untuk penentuan bulan kamariah yang terkait dengan ibadah.


Dalam penentuan awal bulan kamariah, Muhammadiyah tidak mendasarkan pada metode hisab urfi, karena perhitungannya didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi rata-rata dalam mengelilingi Matahari, sehingga menghitung umur bulan secara tetap, yakni pematokan hari dalam bulan-bulan hijriyah sebanyak 30 hari untuk bulan ganjil (bulan ke-1, 3, 5, 7, 9, 11) dan 29 hari untuk bulan genap (bulan ke-2, 4, 6, 8, 10, 12) secara terus menerus dalam satu tahun, kecuali bulan Zulhijah pada tahun kabisat berjumlah 30 hari.

Muhammadiyah mengacu pada gerak faktual Bulan di langit sehingga bermula dan berakhirnya bulan kamariah berdasarkan pada kedudukan atau perjalanan Bulan benda langit tersebut. Inilah yang dinamakan dengan hisab hakiki. Penggunaan hisab hakiki oleh Muhammadiyah ini disebabkan perhitungan yang dilakukan terhadap peredaran Bulan dan Matahari menurut hisab ini harus sebenar-benarnya dan setepat-tepatnya berdasarkan kondisi Bulan dan Matahari pada saat itu.


Lebih jauh, Muhammadiyah menggunakan hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal, yakni Matahari terbenam lebih dahulu daripada Bulan walaupun hanya berjarak satu menit atau kurang. Ide ini berasal dari pakar falak Muhammadiyah Wardan Diponingrat yang tidak hanya dipahami berdasarkan pada QS. Yasin ayat 39-40, melainkan juga menggunakan perangkat lain seperti hadis dan konsep fikih lainnya serta dibantu ilmu astronomi.

 

Syarat Hisab Hakiki Kriteria Wujudul Hilal

Dalam buku Pedoman Hisab Muhammadiyah dijelaskan bahwa dengan hisab hakiki kriteria wujudul hilal, bulan kamariah baru dimulai apabila pada hari ke-29 berjalan saat matahari terbenam terpenuhi tiga syarat berikut secara kumulatifDalam buku Pedoman Hisab Muhammadiyah dijelaskan bahwa dengan hisab hakiki kriteria wujudul hilal, bulan kamariah baru dimulai apabila pada hari ke-29 berjalan saat matahari terbenam terpenuhi tiga syarat berikut secara kumulatif, yaitu (1) telah terjadi ijtimak, (2) ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, dan (3) pada saat matahari terbenam Bulan (piringan atasnya) masih di atas ufuk. Apabila salah satu dari kriteria tersebut tidak dipenuhi, maka bulan berjalan digenapkan tiga puluh hari dan bulan baru dimulai lusa.


Tidak semua metode hisab hakiki mensyaratkan keberadaan Bulan di atas ufuk saat matahari terbenam pada hari konjungsi. Dalam hisab hakiki kriteria ijtimak sebelum gurub (al-ijtima’ qabla al-gurub), misalnya, apabila ijtimak terjadi sebelum matahari tenggelam, maka malam itu dan esok harinya adalah bulan baru, dan apabila ijtimak terjadi sesudah matahari terbenam, maka malam itu dan esok harinya adalah hari penggenap bulan berjalan, dan bulan baru dimulai lusa. Kriteria ini tidak mempertimbangkan apakah pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk atau di bawah ufuk.


Pahadal, ufuk menjadi garis penentu apakah Bulan baru sudah wujud atau belum. Apabila pada saat terbenamnya matahari, Bulan telah mendahului matahari dalam gerak mereka dari barat ke timur, artinya saat matahari terbenam Bulan berada di atas ufuk, maka itu menandai dimulainya bulan kamariah baru. Akan tetapi apabila Bulan belum dapat mendahului matahari saat gurub, dengan kata lain Bulan berada di bawah ufuk saat matahari tenggelam, maka bulan kamariah baru belum mulai; malam itu dan keesokan harinya masih merupakan hari dari bulan kamariah berjalan.


Bagi Muhammadiyah, menjadikan keberadaan Bulan di atas ufuk saat matahari terbenam sebagai kriteria mulainya bulan kamariah baru juga merupakan abstraksi dari perintah-perintah rukyat dan penggenapan bulan tiga puluh hari bila hilal tidak terlihat. Hilal tidak mungkin terlihat apabila di bawah ufuk. Hilal yang dapat dilihat pasti berada di atas ufuk. Apabila Bulan pada hari ke-29 berada di bawah ufuk sehingga tidak terlihat, lalu bulan bersangkutan digenapkan 30 hari, maka pada sore hari ke-30 itu saat matahari terbenam untuk kawasan normal Bulan sudah pasti berada di atas ufuk.

 


Mengapa Bukan Hisab Hakiki Imkanur Rukyat?
Jika menolak kriteria ijtimak sebelum gurub (al-ijtima’ qabla al-gurub), mengapa Muhammadiyah tidak mengadopsi hisab hakiki kriteria imkanur rukyat yang di dalamnya juga mensyaratkan Bulan berada di atas ufuk saat matahari tenggelam pada hari konjungsi?
Jawaban yang mungkin dapat ditelaah karena para ahli hingga saat ini belum sepakat dalam menentukan berapa derajat ketinggian Bulan di atas ufuk untuk dapat dilihat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang kemudian diadopsi Kementerian Agama (Kemenag) misalnya menyebut jika tinggi bulan ketika terbenam matahari di seluruh Indonesia di atas dua derajat, maka besok akan menjadi awal bulan baru. Hal ini berbeda dengan lembaga fatwa lain yang meski sama-sama menggunakan kriteria imkanur rukyat namun parameter tinggi bulan berbeda satu sama lain.

 

Karenanya, hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal lebih memberikan kepastian dibandingkan dengan hisab hakiki kriteria imkanur rukyat. Bagi Muhammadiyah, jika posisi bulan sudah berada di atas ufuk (pada saat terbenam matahari di seluruh Indonesia), seberapa pun tingginya (meskipun hanya 0.1 derajat), maka esoknya adalah hari pertama bulan baru.

 

Redaksi Pendukung

Dalam ilmu falak, hisab berarti melakukan perhitungan posisi geometris bulan dan matahari. Hisab tidak ada hubungannya dengan penampakan. Menurut Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Rahmadi Wibowo, semangat yang ditunjukkan Al Quran dalam menentukan awal bulan ialah menggunakan metode hisab, bukan rukyat.

 

Menurutnya, ada dua ayat yang mengandung isyarat yang jelas kepada hisab, QS. Ar-Rahman ayat 5. Ayat ini tidak sekadar memberi informasi, tetapi juga mendorong untuk melakukan perhitungan terhadap gerak matahari dan bulan. Sedangkan dalam QS. Yunus ayat 5 menyebutkan bahwa menghitung gerak matahari dan bulan sangat berguna untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.

 

Selain itu, hadis-hadis yang memerintahkan rukyat adalah perintah berillat. Illat ialah alasan di balik penetapan suatu hukum. Dalam kasus hadis tentang penentuan awal bulan hijriyah, ilatnya ialah kondisi umat pada saat itu masih belum mengenal tulis baca dan hisab (ummi), sehingga untuk memudahkan Nabi SAW memerintahkan sarana yang tersedia saat itu, yaitu rukyat.

Oleh karen itu, maka rukyat bukan bagian dari ibadah mahdhah, melainkan alat untuk menentukan waktu. Sebagai alat, rukyat dapat diubah dengan model penghitungan secara eksak demi tercapainya suatu tujuan. Lagi pula, dalam hadis Nabi SAW tentang penentuan awal bulan, yang menjadi ibadah mahdhah adalah puasa, bukan rukyat.

 

“Saya kira persoalan ini banyak sekali ditulis para ulama kontemporer seperti Syaikh Yusuf Al Qaradhawi dan Prof Syamsul Anwar bahwa rukyat bukan ibadah. Artinya, ia hanya sarana, sehingga tidak melakukan rukyat, tidak melanggar syari’at,”

Jika rukyat tidak dipakai, maka Muhammadiyah lebih memaksimalkan peran hisab. Dan kriteria hisab yang digunakan Muhammadiyah ialah hisab hakiki wujudul hilal. Kriteria dengan metode ini adalah telah terjadi ijtimak (konjungsi); pada saat terbenam matahari, bulan belum terbenam; dan pada saat terbenamnya matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk. Menjadikan keberadaan Bulan di atas ufuk saat matahari terbenam sebagai kriteria mulainya bulan kamariah baru merupakan abstraksi dari perintah-perintah rukyat dan penggenapan bulan tiga puluh hari bila hilal tidak terlihat

In Syaa Allah bersambung pada edisi berikutnya...............



PENENTUAN AWAL BULAN (1) Hisab Hakiki dengan kriteria Wujudul Hilal PENENTUAN AWAL BULAN (1) Hisab Hakiki dengan kriteria Wujudul Hilal Reviewed by sangpencerah on Februari 29, 2024 Rating: 5

Tidak ada komentar: