Mengutip ayat 110 surat ali-Imran; Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman,
tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Dalam rapat kerja nasional (rakornas) 2 Majelis
Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, tanggal 26 Oktber 2025 di Kusuma
Agrowisata Batu yang diikuti oleh seluruh unsur pimpinan dan majelis tabligh
wilayah jawa timur. Ikut hadir juga
Wakil Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Ustadz Dr. H. Adi
Hidayat, Lc., MA. yang dikenal dengan panggilan (UAH), sekaligus memberikan
motivasi kepada para peserta rakornas 2 dan mengawali kegiatan pembukaan dengan
kata sambutan, dalam sambutannya beliau menegaskan bahwa Majelis Tabligh
Muhammadiyah harus memposisikan diri sebagai "Umat Terbaik"
sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an. Beliau mempertegas tentang tipologi
keberhasilan sebuah dakwah, karena dalam realita aktifitasnya ada "Umat
Standar" yang hanya berkumpul tanpa menghasilkan resolusi kebaikan yang tampak
dan jelas.
Tiga Golongan Umat dalam Al-Qur'an
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat
Fathir:32; Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di
antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka
sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada
(pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu
adalah karunia yang amat besar.
Ilustrasi dari ayat di atas, Ustadz Adi Hidayat
memulai paparannya dengan menganalisis kata Umat yang disebut sebanyak 64 kali
dalam Al-Qur'an dan digolongkan menjadi tiga tipologi yaitu:
1.
Kondisi Umat yang Standar
Golongan pertama ini adalah kumpulan manusia, bahkan
mencakup hewan dan jin, yang hanya bertujuan "kumpul-kumpul." Dan Ustadz Adi Hidayat (UAH) menyebut mereka
hanya berkumpul untuk keramaian, status, foto, dan video, namun tidak jelas
arah kolektifitasnya. "Kumpul, duduk, ramai. Bahkan ada yang rebutan
sesuatu, ada yang teriak-teriak, kumpulannya seperti tidak ada tujuan yang
ingin dicapai, bahkan cenderung berisi candaan dan gurauan..
2.
Kondisi Umat Ideal (Umat yang Punya Tujuan)
Golongan ini berkumpul untuk mendiskusikan sesuatu yang
akan melahirkan resolusi. Umat ini memiliki empat unsur kebaikan yang
diimplementasikan secara terintegrasi:
Thayyib: Kebaikan fisik
(badan sehat) melalui makanan yang halal dan menyehatkan (mengacu pada QS
Al-Baqarah ayat 168). Sebagaimana firman
Allah SWT; Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Khair: Kebaikan
sifat/spiritual (jujur, sabar, tawadhu’). Firman Allah SWT tentang kesabaran; "Wahai
orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan
salat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar (QS.al-Baqarah;2:153)
demikian juga Rasulullah SAW berpesan; "Kesabaran itu pada
saat pertama kali mendapat musibah." (HR. Bukhari) Hadis ini menegaskan bahwa sabar yang sejati adalah ketika
seseorang mampu mengendalikan diri dan tidak mengeluh saat pertama kali ditimpa
musibah. Firman Allah SWT tntang kejujuran; "Dan tepatilah janji dengan Allah
apabila kamu berjanji dan janganlah kamu melanggar sumpah setelah diikrarkan,
sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu).
Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.(QS. An-Nahl;16:91)
begitu juga nasehatNabi SAW "Hendaklah kamu selalu jujur, karena
sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan itu membawa ke
surga..." (HR. Bukhari dan Muslim)
Ihsan: Berbuat baik
dengan cara yang terbaik dan paling sempurna, dilandasi ketulusan dan kesadaran
penuh bahwa Allah SWT. mengawasi setiap perbuatan. Semua kegiatan
dilakukan karena Allah SWT (berubah menjadi ibadah). Misalnya; Menahan
amarah dan memaafkan kesalahan orang lain, meskipun memiliki kesempatan untuk
membalas (QS. Ali Imran;3:134). Berinfak
dalam keadaan senang maupun susah, baik kepada orang yang disukai maupun tidak (QS.
Al-Baqarah;2:178).
Ma'ruf: Kebaikan yang sudah
dikenal dan diterima secara umum oleh masyarakat dan agama. Integrasi kolektif dari tiga unsur di atas.
Bersikap
jujur, rendah hati, dan menolong orang lain.
Menegakkan
keadilan dan melaksanakan kewajiban sosial yang bermanfaat.
Mengembalikan
barang yang bukan miliknya atau bertindak sesuai nilai-nilai kebaikan yang
disepakati secara umum
3.
Kondisi Umat Terbaik (Umat Pilihan/terbaik)
"Setiap ada di antara kita, kata Allah, membentuk
sebuah umat. Umatnya mana? Bukan yang kumpul-kumpul seperti Tipologi 1 di atas.
Apa yang diinginkan? Yada'una ilal khairi, yang merumuskan resolusi
dengan menampilkan akumulasi sifat-sifat ini... Wa ya'murÅ«na bil-ma’rÅ«fi
kemudian menerjemahkan sifat-sifat baik ini dalam konteks amalan yang
dipraktikkan mereka komitmen secara kolektif untuk mempraktikkan diri dulu
[menjauhi munkar]."
Ilstrasi seorang pemimpin misalnya Wali Kota Batu Punya
'Tongkat Besar'
Dalam pidatonya, UAH juga memberikan apresiasi khusus
kepada Wali Kota Batu. Ia menggunakan metafora Batu dan Tongkat untuk
mengaitkan potensi daerah dengan konsep dakwah.
"Bapak Wali Kota punya tongkat yang besar.
Dipukulkan ke batu. Karena dimaksud maknanya bukan harus cari tongkat, pukul
batu. Bukan. Itu majasnya," jelas UAH.
Ia mengartikan "tongkat besar" sebagai amanah
dan kewenangan Wali Kota untuk "memukul potensi-potensi positif yang ada
di Batu" agar manfaatnya memancar seperti 12 mata air yang keluar dari
batu. Tujuannya agar Kota Batu menjadi tempat yang jernih, nyaman, dan
berfungsi sebagai *Hijab* (benteng) yang mencegah maksiat, sehingga kenyamannya
tidak berubah menjadi tempat maksiat.
Pada akhir sambutannya, UAH berpesan bahwa kolaborasi
dakwah harus menghadirkan niat kolektif yang menyatukan semua sifat kebaikan
untuk menciptakan amalan nyata, seperti penataan dan penetapan masjid yang
terintegrasi untuk umat.
Bagaimana dengan fungsi masjid di masa
Rasulullah SAW?
Ustadz Adi Hidayat Dorong Masjid sebagai Pusat
Pemberdayaan Ekonomi Menuju Kesejahteraan Umat
Hampir sebagian besar umat Islam meletakkan
fungsi masjid sebagai tempat shalat (peribadatan). Meskipun hal itu tidaklah
keliru, tetapi cara pandang hal ihwal masjid harus ditinjau lebih luas.
"Secara antropologis dan sosiologis,
masjid berfungsi sebagai pusat solusi: orang datang ke masjid bukan hanya untuk
beribadah, tetapi juga untuk bertanya, berdiskusi, mendiskusikan persoalan
sosial, politik, ekonomi, dan mencari jalan keluar terbaik dan keputusan
bersama.
Melongok pada kehidupan zaman Nabi Muhammad SAW,
masjid sering menjadi pusat kegiatan ekonomi: tempat perdagangan, pusat
distribusi, tempat berkumpulnya para pedagang. "Bahkan menjadi basis
gerakan solidaritas kolektif,"
Dalam praktik, masjid idealnya melakukan
hal-hal berikut secara simultan. Pertama, ruang spiritual, yaitu tempat shalat,
pengajian, pembinaan ruhiyah. Kedua, ruang pendidikan, yakni madrasah,
kelas-kelas keterampilan, kajian ilmu pengetahuan.
Ketiga, ruang sosial-ekonomi, koperasi,
lembaga penunjang usaha, pasar lokal yang dikelola komunal. Keempat, ruang
budaya, kegiatan kesenian yang sesuai syariat, pembentukan karakter dengan
standar syariat, budaya dan tradisi setempat .
"Sejarah Islam menunjukkan contoh konkret
bagaimana ekonomi terorganisir di sekitar masjid. Nabi dan para sahabat
menjadikan masjid sebagai titik pertemuan ekonomi: berdagang, kerja sama usaha,
serta pembagian hasil secara adil," terangnya.
Konsep saling tolong (ta'awun) dan kerja sama
(syirkah), sambung Ustadz Adi, menjadi landasan moral ekonomi. Ketika struktur
ekonomi ini berjalan, masyarakat mengalami stabilitas: kebutuhan terpenuhi,
kriminalitas menurun, ketahanan sosial meningkat.
Sebagai contoh praktis dari sejarah ditemukan
pada masa awal Islam, di mana banyak aktivitas perdagangan dan usaha yang
terpusat di sekitar masjid. Bahkan tokoh-tokoh ekonomi pertama muncul dari
komunitas masjid.
"Masjid tidak hanya mengurusi ibadah,
tapi juga memfasilitasi akses ekonomi masyarakat," jelasnya.
Di situlah penegasan Ustadz Adi bahwa, Masjid
sebagai titik fungsi ekonomi. Maknanya, semua kegiatan yang dikelola di masjid
harus punya orientasi manfaat jangka panjang.
"Mari kita sedikit sentuh aspek praktik
ekonomi: model koperasi, syirkah, dan bentuk usaha kolektif lain merupakan
kelanjutan praktik Nabi yang menekankan kebersamaan ekonomi. Koperasi masjid
dan unit usaha berbasis jamaah bisa menjadi motor pemberdayaan ekonomi
lokal,"
"Banyak masjid dan mushala yang fungsinya
hanya menjadi tempat shalat saja," menukil statement Ar Fachrudin tahun
1993. Selain itu Muarawati menegaskan, salah satu fungsi masjid sebagai pusat
informasi dan penghimpunan zakat. "Pusat kesejahteraan umat melalui
penyaluran zakat dan infaq,"
"Masjid harus menjadi pusat solusi: bila
ada masalah keluarga, hukum, ekonomi, masjid harus menjadi tempat konsultasi
dan penyelesaian, masalah umat. Semoga umat ini selalu mentautkan hatinya di
dalam masjid, dan masjid bukanlah sebuah pelarian dari masalah yang sedang
dihadapi, tapi mencari solusi dengan mencintai masjid yang notabanenya dapat
berjumpa dengan jamaah lainnya, dengan berjumpa itulah maka akan bermusyawarah
dan melahirkan solusi terbaik, karena Allah suka hambaNya yang selalu
mentautkan hatinya di masjid.
Disarikan dari sambutan dalam rakornas 2 MTT
PPM di Kusuma Agrowisata- Batu
Reviewed by sangpencerah
on
November 07, 2025
Rating:





Tidak ada komentar: