Menghindari
tafsir yang tidak adil terhadap perempuan adalah tantangan besar bagi umat
Muslim saat ini. Mari kita lihat bagaimana hal ini terjadi dalam sejarah Islam.
Ada banyak tafsir berbahasa Arab yang ditulis pada Abad Pertengahan. Saat ini,
tafsir terus diterbitkan dari bahasa Arab ke bahasa Inggris, Indonesia, dan
lain-lain. Tafsir baru juga ditulis, tetapi banyak yang terwarnai dengan
pandangan Abad Pertengahan tentang perempuan dan posisi perempuan dalam
masyarakat. Terkadang pandangan dan pemikiran tentang kedudukan perempuan dalam
masyarakat tersebut telah mempengaruhi cara tafsir Al-Qur`an.
Kita,
di dunia modern ini, boleh jadi merasa tidak nyaman
dengan beberapa tafsir ini dan sebaliknya sudah terbiasa dengan tafsir
tersebut. Tak jarang kita gagal membedakan antara apa yang sebenarnya dikatakan
Al-Qur`an dan apa yang telah dihasilkan oleh para mufassir. Lewat tulisan ini,
saya ingin membahas bagaimana memisahkan keduanya, mengklarifikasi apa yang
sebenarnya pesan Al-Qur`an dan mana yang merupakan hasil tafsir manusia.
Bagaimana
Al-Qur`an diterapkan di dunia modern ini di mana orang mengakui hak-hak
perempuan dan cenderung bersikap adil? Islam memberikan hak kepada perempuan
yang telah lama diakui dalam masyarakat Muslim, bahkan oleh para mufassir.
Mereka melampaui zaman dan tempat dengan melembagakan hak-hak perempuan,
misalnya hak perempuan untuk memberikan suara dalam masyarakat Muslim, hak
untuk memiliki properti, hak untuk mempertahankan nama mereka setelah menikah
dan sebagainya.
Ada
beberapa ayat dalam Al-Qur`an yang selama ini ditafsirkan dengan cara yang
dinilai tidak adil terhadap perempuan. Salah satunya adalah surah ke-4 ayat
ke-34. Ayat ini telah ditafsirkan secara luas bahwa Allah SWT mengizinkan
seorang suami untuk memukul istrinya. Namun ketika ayat ini dipahami dalam
terang konteks keseluruhan Al-Qur`an, kita akan melihat bahwa maknanya
sebenarnya tidak demikian.
Ayat
ke-34 ini muncul setelah ayat ke-29 yang diawali dengan “Hai orang-orang yang
beriman”. Karena ditujukan kepada orang-orang beriman secara umum, maka jelas
ini bukan ditujukan kepada suami secara khusus. Ayat ke-34 ditafsirkan oleh
mufassir bahwa seorang suami boleh memukul istrinya. Bagi mereka, ayat ini
ditujukan kepada laki-laki, khususnya para suami.
Ayat
ke-34 tersebut sebetulnya adalah sapaan kepada orang-orang beriman. Ia dimulai
dengan (Laki-laki adalah pelindung dan pemelihara perempuan), tidak disebutkan
suami, tetapi rijal (laki-laki). Ayat ini tidak berbunyi, “Hai para laki-laki,
kamu adalah pelindung wanita” tapi ia ditujukan kepada komunitas secara umum,
Perhatikan
juga ayat berikutnya, yakni ayat ke-35 yang ditujukan kepada komunitas Muslim.
Para mufassir klasik memahami ayat ke-34 ditujukan kepada laki-laki secara
khusus, kepada suami. Ketika sampai pada ayat nomor 35, ada sementara mufassir
yang bertanya ayat ini menyapa siapa? Sebab mereka sadar bahwa ayat ke-35 tidak
bisa ditujukan kepada laki-laki secara khusus. Ia pasti ditujukan kepada
komunitas Muslim secara umum.
Sebagai
misal, al-Razi—salah satu mufasir klasik dalam tafsirnya yang kesohor Mafatih
al-Ghayb yang juga dikenal dengan sebutan al-Tafsir al-Kabir, yang berarti
tafsir besar-ketika membahas ayat ke-35 bertanya dengan lantang, “Siapa yang
sedang disapa dalam ayat ini?” Alasannya menanyakan hal ini karena pada ayat
sebelumnya asumsinya adalah ini ditujukan kepada laki-laki, dan laki-laki
diberi tahu bahwa mereka memiliki izin untuk memukul istri mereka.
Tetapi
ketika sampai pada ayat ke-35, dia menyadari bahwa ini adalah sapaan kepada
orang-orang beriman atau komunitas Muslim secara umum, yang jika mereka
melihat ada keretakan antara suami dan istri, masalah tersebut dibawa ke
pengadilan. Biasanya masyarakat akan turun tangan atau jika mereka melihat ada
pelecehan yang terjadi, bahkan jika tidak ada kasus yang dibawa ke pengadilan
atau hakim, komunitas Muslim akan mencoba menyelesaikan masalah ini dengan
menunjuk orang yang tidak memihak, satu dari keluarga pria dan yang lain dari
keluarga wanita. Diharapkan kedua pihak bisa berbaikan dan pernikahan mereka
bisa diselamatkan.
Ayat-ayat
sebelum dan sesudah ayat ke-34 menyapa komunitas Muslim secara umum. Begitu
juga pada ayat ke-34, ditujukan kepada komunitas Muslim, terutama karena dalam
ayat ke-34 tertulis (Adapun perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan
nusyuznya, maka nasehatilah mereka, dan jauhilah mereka di tempat tidur dan
pukullah mereka). Bagian (kamu khawatirkan) di sini dilanjutkan dalam ayat
ke-35 (jika kamu khawatir akan perpecahan antara keduanya). Jadi Anda lihat,
ini adalah kata ganti 'kamu' yang sam. Dalam ayat ke-35, jelas ini adalah
komunitas Muslim.
Kembali
ke ayat ke-34, ayat ini juga ditujukan kepada komunitas Muslim. Jika komunitas
Muslim mengkhawatirkan pembangkangan atau sikap durhaka para perempuan
khususnya, maka ada cara untuk mengatasi masalah tersebut. Pertama, dengan
nasihat berupa kata-kata, kemudian berupa pemisahan tempat tidur, mungkin
seperti tahanan rumah, dan ketiga, hukuman fisik jika itu yang pantas. Tentu
saja, kapan harus menerapkannya dan bagaimana dalam masyarakat modern, semua
ini perlu dibahas.
Jadi
ayat itu tidak berarti dan tidak mengatakan bahwa suami harus atau boleh
memukul istri mereka. Sebab ayat itu tidak dimulai dengan “yaa ayyuhar rijaal”
atau ‘wahai para lelaki’ dan ayat selanjutnya juga tidak berbunyi “Wahai para
lelaki, jika kamu khawatir akan pembangkangan istri-istri kamu, maka lakukanlah
ini.” Nyatanya bukan itu yang dikatakan ayat tersebut. Oleh karena itu, ayat
tersebut ditujukan kepada orang-orang beriman. Sapaan kepada orang-orang
beriman itu dimulai pada ayat ke-29 dan berlanjut hingga ayat ke-35.
Karenanya
ayat ke-34 ini sama sekali tidak bias terhadap perempuan. Di sisi lain,
laki-laki juga akan dihukum jika mereka melanggar moral, terutama dalam hal
yang menjijikkan seperti perselingkuhan. Hal ini kita temukan penyebutannya
masih dalam surah ke-4 ayat ke-15 dan ke-16. Khusus pada ayat ke-16 disebutkan
bahwa jika dua orang melakukan zina, maka kalian harus menghukum mereka berdua,
dan kedua orang tersebut bisa jadi laki-laki dan perempuan. Jadi laki-laki
jelas termasuk di sana dilihat dari konstruksi gramatikalnya.
Karenanya,
Al-Qur`an sangat adil terhadap kedua jenis kelamin. Baik laki-laki maupun
perempuan jika melakukan perbuatan tidak senonoh, mereka juga harus
diperlakukan sesuai dengan apa yang disebutkan dalam ayat ke-34. Ini bukanlah
izin bagi laki-laki untuk memukul istri mereka. Ini adalah izin bagi negara
untuk menerapkan hukuman fisik setelah tindakan sebelumnya gagal.
Ini
adalah hukuman fisik yang akan diterapkan oleh komunitas Muslim dan oleh pihak
otoritas yang jelas sebagai wakil, bukan oleh laki-laki secara khusus, yang
memukul istri mereka. Al-Qur`an tidak mengizinkan laki-laki untuk memukul
istrinya, dan ini adalah kesalahpahaman yang muncul dalam tafsir yang telah
ditulis dan disalin hingga hari ini. Wallaahu a’lam.
Artikel
ini telah tayang di suaramuhammadiyah.id dengan judul: Menghindari Bias Gender
dalam Tafsir Al-Qur`an, https://www.suaramuhammadiyah.id/read/menghindari-bias-gender-dalam-tafsir-al-qur-an
Reviewed by sangpencerah
on
Oktober 08, 2025
Rating:





Tidak ada komentar: