Dalam khazanah Islam, amanah menempati
posisi yang sangat fundamental. Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa’ ayat 58:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…”
Ayat ini menegaskan bahwa amanah bukan
sekadar etika sosial, melainkan perintah ilahi yang menjadi fondasi peradaban.
Rasulullah ï·º
bahkan menegaskan: “Tidak ada iman bagi orang yang tidak amanah.” (HR.
Ahmad).
Sayangnya, di tengah derasnya arus
modernisasi dan kompleksitas kehidupan, amanah kerap menjadi nilai yang
terkikis. Ia lebih sering dijadikan jargon ketimbang dipraktikkan. Inilah adalah
sebuah ironi, kita adalah bangsa religius, tetapi krisis amanah justru
merajalela dalam sendi-sendi kehidupan.
Banyak orang yang ingin merebut amanah, tetapi tidak
semua orang mau menunaikannya dengan tulus dan berkhidmat dengan jiwa jihad. Amanah
yang hanya dipikul di ujung kepala yang penuh dengan ambisi dan kepentingan
minus ketulusan dan pengkhidmatan dilukiskan Nabi sebagai orang yang dicabut amanah
itu dari hatinya, fatuqbalu al amanah min qalbihi. Mengapa demikian
karena menurut sabda Nabi SAW, bahwa sumber amanah itu ada di hati (kalbu) dan
hati itu tempat berseminya iman.
Dengan kata lain tiada amanah tanpa hati dan hampalah
hati tanpa iman. Amanah itu letaknya bukan di ikrar lisan tetapi terletak dalam
jantung hati dan perbuatan yang bersendikan ikhlas karena Allah SWT dan
didasari dengan dorongan iman.
Bila kita tengok
realita hari ini krisis amanah telah terjadi dibeberapa titik. Di ranah politik
dan birokrasi, publik sering dibuat kecewa oleh praktik korupsi, nepotisme,
serta janji-janji yang diingkari. Padahal, jabatan adalah amanah rakyat
sekaligus amanah Allah SWT. Namun dalam praktiknya, tidak sedikit yang
menjadikan kursi kekuasaan sebagai ladang kepentingan pribadi.
Berapa banyak orang yang telah berikrar untuk
menunaikan amanah, namun dalam praktiknya tidak benar-benar dijalankan kecuali
yang ringan-ringan dan menyenangkan saja. Orang yang semacam ini termasuk
kategori orang yang kehilangan amanah. Boleh jadi yang orang tersebut secara
resmi masih memegang amanah, tapi karena tidak sepenuhnya bermuara di hati yang
tulus dan tidak dipondasi dengan iman yang kokoh, maka lama kelamaan amanah itu
akan berbelok arah dan akan semakin jauh dari harapan semula.
Mantan Ketua KPK, Agus
Rahardjo, pernah mengingatkan: “Korupsi adalah bentuk pengkhianatan terbesar
terhadap amanah rakyat. Selama pejabat tidak menjadikan amanah sebagai landasan
iman, maka praktik kecurangan akan terus terulang.”
Di dunia pendidikan,
kita masih menyaksikan fenomena siswa menyontek, guru yang mengajar sekadar
menggugurkan kewajiban, hingga lembaga yang lebih mengejar angka ketimbang
integritas. Padahal pendidikan adalah amanah besar untuk mencetak generasi
berkarakter. KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, jauh-jauh hari menekankan
bahwa pendidikan bukan sekadar mentransfer ilmu, melainkan mendidik akhlak. “Hidup-hidupilah
Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah,” pesan beliau. Kalimat
ini dapat dipahami sebagai ajakan menjaga amanah dalam mengemban tanggung jawab
pendidikan.
Dalam kehidupan sosial
sehari-hari, amanah pun sering diabaikan. Contoh sederhana: pegawai yang bolos
atau bermain gawai saat jam kerja, warga yang membuang sampah sembarangan meski
sudah ada aturan, hingga pengendara yang tidak taat lalu lintas. Semua itu
adalah bentuk pengkhianatan amanah kecil yang berdampak besar pada keteraturan
sosial.
Krisis amanah ini
berakibat sistemik yaitu menurunnya kepercayaan publik, rapuhnya keadilan
sosial, hingga munculnya ketidakpuasan yang memicu konflik.
Amanah
Sebagai Cermin Iman
Mengapa amanah begitu
penting? Maka jawabanya adalah amanah dan iman adalah bagian yang tidak terpisahkan, bagai dua sisi uang
logam yang selalu bersama. Al Amanah berasal dari kata a-m-n yang serumpun
dengan dengan kata iman yang berarti kepercayaan. Akar sekaligus puncak dari
iman ialah tauhid yaitu kepercayaan mutlak pada Allah Yang Maha Esa.
Sehingga amanah adalah refleksi langsung
dari iman. Orang beriman meyakini bahwa setiap tanggung jawab akan dimintai
pertanggungjawaban di akhirat. Rasulullah ï·º bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan
setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
(HR. Bukhari-Muslim).
Hadis ini menegaskan bahwa sekecil
apapun peran kita—sebagai orang tua, guru, pelajar, pekerja, bahkan warga
biasa—semuanya adalah pemimpin atas amanah yang diemban.
Jika seseorang benar-benar beriman, maka
ia akan berhati-hati dalam menjaga kepercayaan. Sebaliknya, jika iman hanya
sebatas identitas, maka amanah akan mudah diabaikan.
Mengembalikan
Amanah di Tengah Krisis Moral
Lalu, bagaimana menghidupkan kembali
amanah di tengah krisis kepercayaan yang melanda masyarakat? Ada beberapa
langkah konkret yang bisa kita lakukan, yang pertama adalah menguatkan
kesadaran spiritual. Menjalankan amanah tidak cukup dengan hukum atau aturan.
Kesadaran imanlah yang menjadi benteng terkuat. Jika setiap orang merasa Allah
mengawasi, maka ia akan menolak untuk mengkhianati amanah sekecil apapun.
Kedua, menumbuhkan budaya integritas. Integritas
harus menjadi budaya di semua lini: rumah tangga, sekolah, tempat kerja, hingga
lembaga pemerintahan. Orang tua wajib memberi teladan menepati janji; guru
harus konsisten dengan etika profesi; pejabat harus transparan dalam kebijakan.
Ketiga, memberikan pendidikan karakter
sejak dini. Anak-anak perlu diajarkan pentingnya amanah, bukan hanya melalui
teori tetapi melalui praktik. Misalnya, memberi tugas kecil lalu menilai
kejujurannya, atau memberi tanggung jawab di rumah dan menghargai komitmennya.
Keempat, sanksi tegas terhadap pengkhianatan. Amanah yang dikhianati tidak
boleh dibiarkan. Masyarakat dan negara harus memberikan sanksi yang tegas,
adil, dan mendidik, agar tercipta efek jera sekaligus pembelajaran bersama.
Amanah
sebagai Solusi Bangsa
Bila amanah ditegakkan, dampaknya sangat
luas. Kepercayaan publik akan pulih, korupsi bisa ditekan, birokrasi menjadi
bersih, dan masyarakat hidup dalam keteraturan. Amanah adalah fondasi yang bisa
mengangkat martabat bangsa.
Prof. Din Syamsuddin, tokoh
Muhammadiyah, pernah berkata: “Krisis terbesar bangsa ini bukan pada sumber
daya alam, melainkan pada moralitas. Solusinya adalah iman yang melahirkan
amanah, dan amanah yang melahirkan keadilan.”
Dalam konteks Indonesia, krisis moral
yang seringkali kita keluhkan pada dasarnya berakar pada lemahnya kesadaran
amanah. Jika para pejabat, pendidik, orang tua, hingga generasi muda
berkomitmen menegakkan amanah, maka jalan menuju bangsa yang adil, makmur, dan
bermartabat akan lebih terbuka.
Penutup,
Kembali pada Iman
Menjalankan amanah bukan sekadar
kewajiban sosial, tetapi ibadah yang berakar dari iman. Amanah adalah harga
diri seorang mukmin. Bila amanah hilang, maka runtuhlah keimanan.
Di tengah derasnya tantangan zaman, mari
kita mulai dari diri sendiri: disiplin waktu, menepati janji, jujur dalam
pekerjaan, bertanggung jawab atas peran. Dari hal-hal kecil itulah lahir
kepercayaan besar.
Bangsa ini tidak kekurangan sumber daya,
tetapi seringkali kekurangan amanah. Maka solusi terbaik bukan hanya
pembangunan fisik, melainkan pembangunan iman yang melahirkan amanah. Dengan
begitu, kita bisa mengembalikan marwah bangsa dan mewujudkan masyarakat yang
lebih adil, bermartabat, dan diridhai Allah.
Dan pada akhirnya amanah itu tidak dijalankan
sebagaimana mestinya. Itulah ciri orang yang dicabut dan kehilangan amanah dari
hatinya dan Allah SWT menyebut manusia yang ingkar amanah seperti itu dengan
sosok “dhuluman jahula”, yakni orang dzalim dan bodoh, Allah berfirman
dalam al Qur’an surat al Ahzab ayat 72, Sesungguhnya Kami telah
mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan
untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan
amat bodoh.
Semoga Allah SWT menganugerahkan kepada kita kemampuan untuk menjalankan amanah dan menganugerahkan pemimpin-pemimpin yang amanah. Aamiin. Wallahu a’lam bish-shawab.

Tidak ada komentar: