Pendahuluan
Ibadah Haji
adalah momen spiritual yang paling dinanti oleh umat Islam di seluruh dunia.
Perjalanan suci menuju Baitullah ini bukan sekadar ritual fisik, tetapi lebih
dari itu—sebuah momentum penyucian jiwa, penghambaan total kepada Allah SWT,
serta sarana untuk menyelami makna hidup sebagai hamba-Nya. Namun, seiring
perkembangan zaman dan kemajuan teknologi informasi, terjadi pergeseran
paradigma dalam pelaksanaan ibadah, terutama pada aspek perilaku sosial jamaah
saat menunaikan ibadah Haji.
Dulu, jamaah
lebih sibuk menundukkan hati, menangis dalam doa, dan merenungi kesalahan diri
di depan Ka’bah atau di Raudhah. Kini, tidak sedikit yang lebih sibuk
mengabadikan momen ibadah melalui kamera. Pemandangan jamaah yang sibuk
swafoto, video call dari area Masjidil Haram, atau membuat siaran langsung saat
sedang berdoa menjadi hal yang lumrah. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan
mendalam: Apakah ibadah yang dilakukan masih murni karena Allah? Ataukah sudah
tercampur dengan keinginan untuk bersosialita demi pencitraan diri?
Mau Beribadah atau Bersosialita?
1. Ibadah Adalah
Tindakan Vertikal, Bukan Pertunjukan Sosial
Islam menekankan
bahwa ibadah adalah hubungan eksklusif antara hamba dan Allah SWT. Sebagaimana
ditegaskan dalam hadis Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya
setiap amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang akan
mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibadah sejati
dimulai dari hati. Jika hati telah terkontaminasi oleh keinginan untuk dipuji,
dikagumi, atau disukai oleh sesama manusia, maka amal yang dilakukan tidak lagi
memiliki nilai ibadah di sisi Allah SWT.
Lebih jauh,
Allah SWT menyatakan dalam Al-Qur’an:
“Dan mereka
tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya…” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Fenomena
dokumentasi diri saat beribadah, jika tidak diiringi dengan niat yang lurus,
berpotensi mereduksi nilai spiritual dari ibadah itu sendiri.
2. Bersosialita:
Wajar, Tapi Harus Tahu Batas
Manusia adalah
makhluk sosial. Interaksi, berbagi pengalaman, dan berkomunikasi adalah bagian
dari fitrah kita. Di era digital, membagikan momen ke media sosial bukan lagi
hal luar biasa. Bahkan, tidak jarang jamaah Haji merasa perlu berbagi momen
spiritual mereka agar bisa “menginspirasi” orang lain.
Namun di sinilah
letak permasalahannya. Ketika kegiatan sosial ini dilakukan di tengah-tengah
ibadah yang seharusnya sakral dan khusyuk, maka muncul potensi:
• Terganggunya kekhusyukan pribadi
• Terhambatnya perenungan spiritual
• Bahkan, bisa memicu riya’ (pamer ibadah), yang termasuk
syirik kecil dan sangat dibenci oleh Allah
Rasulullah SAW
bersabda:
“Yang paling aku
khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, ‘Apakah
syirik kecil itu, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Riya’.’” (HR. Ahmad)
3. Gangguan
Terhadap Kehidmatan Jamaah Lain
Aktivitas
sosialita selama ibadah bukan hanya berdampak secara personal, tetapi juga
sosial. Banyak jamaah lain yang merasa terganggu dengan suara notifikasi
ponsel, kamera diarahkan ke wajah tanpa izin, bahkan kadang terinjak saat
seseorang sibuk mencari angle terbaik untuk selfie. Kekhusyukan masjid berubah
menjadi keramaian layaknya tempat wisata.
Padahal
Rasulullah SAW sangat menjunjung tinggi adab dalam beribadah dan menghormati
sesama. Beliau bersabda:
“Jangan kalian
mengangkat suara di dalam masjid melebihi suara orang yang sedang membaca
Al-Qur’an.” (HR. Abu Dawud)
Menjaga adab,
ketenangan, dan kekhusyukan adalah bagian dari ibadah itu sendiri. Jika
sosialita malah mencederai ini semua, maka bukan hanya diri sendiri yang
dirugikan, tapi juga orang lain.
4. Peringatan
Imam Al-Ghazali: Tiga Kelompok yang Celaka
Dalam kitab Ihya
Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa ada tiga kelompok manusia yang
nampaknya baik, tapi sebenarnya dalam bahaya besar:
a. Beribadah
tanpa ilmu8
Orang yang
sekadar mengikuti ritual tanpa memahami makna dan syariatnya. Mereka
melaksanakan rukun demi rukun Haji seperti rutinitas tanpa perenungan.
b. Berilmu tapi
tidak mengamalkan
Mereka tahu
bahwa niat itu penting, tahu bahwa ibadah harus khusyuk, tahu bahwa riya’ itu
berbahaya—namun tetap melakukannya karena tuntutan ego atau media sosial.
c. Mengamalkan
tapi tidak ikhlas
Ini adalah
kondisi paling berbahaya: tampak dari luar sedang beribadah, tapi di dalam
hatinya ingin dikenal sebagai “jamaah yang saleh”, “orang yang sudah haji”,
atau “influencer religi”.
Ketiga kelompok
ini tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali kelelahan semata. Bahkan bisa saja
amalnya ditolak karena tidak dilakukan dengan ikhlas.
5. Menemukan
Keseimbangan: Spiritualitas yang Mendarat, Sosialita yang Bermartabat
Bukan berarti
teknologi dan media sosial harus dihindari sepenuhnya. Bukan juga berarti
berbagi kebahagiaan harus dianggap salah. Namun perlu ada titik keseimbangan:
• Dokumentasi seperlunya, bukan untuk pamer
• Berbagi pengalaman secara inspiratif, bukan manipulatif
• Mendahulukan kekhusyukan ibadah daripada eksistensi di
dunia maya
• Menghormati jamaah lain dan menjaga ketenangan tempat
suci
Sebagaimana
diajarkan Rasulullah SAW, “Sesungguhnya agama ini mudah, dan siapa yang
mempersulit agama, maka ia akan dikalahkan olehnya.” (HR. Bukhari). Namun
kemudahan tidak berarti membolehkan segalanya tanpa kendali.
Penutup
Di antara
hiruk-pikuk sosialita dan kerinduan akan spiritualitas, seorang Muslim harus
pandai memilah dan menata niat. Tujuan utama dari ibadah Haji adalah
mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan memperkenalkan diri kepada dunia. Saat
ibadah berubah menjadi tontonan, saat doa menjadi siaran langsung, saat Ka’bah
menjadi latar konten, maka sudah waktunya kita merenung:
“Apakah kita
benar-benar sedang beribadah, atau hanya bersosialita dalam balutan
religiusitas?”
Semoga kita
termasuk orang-orang yang menjaga keikhlasan, menghormati tempat suci, dan
meraih kemabruran yang sejati—bukan hanya di mata manusia, tapi di hadapan
Allah SWT.
Wallahu a’lam bishshawaf

Tidak ada komentar: