Kematian adalah diskontinuitas eksistensi
yang tidak bisa ditawar. Maut datang tanpa negosiasi, tanpa menunggu
persetujuan. Tapi menariknya, Islam mengajarkan bahwa teritori antara hidup dan
mati bukanlah segregasi mutlak, ada kontinum amal yang terus mengalir, bahkan
setelah jasad menjadi tanah.
Allah SWT mendeklarasikan dengan tegas
dalam Al-Quran: "Tiap-tiap yang bernyawa (jiwa) akan
merasakan mati" (QS. Ali-Imran: 185). Ini bukan sekadar informasi, melainkan
proposisi filosofis yang mengharuskan kita menyiapkan narasi hidup sebelum
epilognya tiba. Sebagaimna firman Allah SWT; "Dan setiap umat
mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta
penundaan atau percepatan sesaat pun (QS.7:34)
Ayat ini menjelaskan bahwa setiap umat atau kelompok
manusia memiliki ajal atau batas waktu yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Ketika
ajal tersebut tiba, mereka tidak dapat menunda atau mempercepatnya, sekalipun
hanya sesaat. Ini menunjukkan bahwa takdir Allah SWT bersifat mutlak dan
tidak dapat diubah. Dalam al-Qur’an Allah SWT
menyebutkan kurang lebih 20 ayat yang mengingatkan manusia akan kematian,
diantaranya; QS. 3:145.169. QS.4:78.
QS;6:61.93. QS.10:49. QS. 16:32. QS. 21:34.35 QS.29:57. QS.31:34. QS.32:11.
QS.39:42. QS.55:26-27. QS.56: 83-87. QS. 62:8.QS. 63:11.S. 67:2. QS.75:26.
Peringatan ini tidak
hanya sekedar menginformasikan akan datangnya kematian, melainkan Allah SWT ingin
menunjukan bagiamana kita mempersiapkan datangnya kematian itu dalam kehidupan
manusia.
Mari kita bedah beberapa imperatif
eksistensial yang sebaiknya tidak absen dari biografi hidup kita sebelum ajal
menjemput.
Jangan Mati Dulu Sebelum
Berdonasi untuk Baitul Maqdis Palestina
Palestina bukanlah sekadar konflik
geopolitik. Bumi Al-Quds adalah ekspresi dari pertarungan antara yang haq dan
bathil dalam panggung sejarah manusia. Ketika darah mengalir di tanah para
nabi, kita yang berdiam di Indonesia tidak bisa hanya berperan sebagai penonton
pasif.
Jihad memiliki spektrum yang luas; dari
pedang hingga kekayaan. Bagi kita yang jauh dari medan pertempuran, berdonasi
adalah modalitas jihad yang paling rasional.
Allah SWT menyatakan dengan jelas: "Dan berjihadlah dengan harta dan jiwa
kalian di jalan Allah" (QS. At-Taubah: 41). Perhatikan, jihad harta
didahulukan daripada jihad jiwa dalam sintaksis ayat ini. Ini bukan kebetulan
redaksional, tetapi prioritas substantif.
Nabi Muhammad SAW juga menegaskan: "Barangsiapa yang memberi bekal seorang
mujahid di jalan Allah, maka dia telah berperang" (HR. Al-Bukhari dan
Muslim). Ini adalah bentuk partisipasi tidak langsung yang diakui validitasnya
dalam yurisprudensi Islam.
Ketika Perang Tabuk, Utsman bin Affan
menyumbangkan 950 unta beserta perlengkapannya. Rasulullah Muhammad SAW sampai
mengatakan, "Tidak akan membahayakan
Utsman apa yang dia perbuat setelah hari ini." Ini adalah deklarasi
eksplisit bahwa finansialisasi jihad memiliki nilai transendensi yang tinggi.
Pertanyaannya: apakah dompet kita sudah
menjadi instrumen jihad, atau masih sekadar alat konsumsi hedonistik?
Jangan
Mati Dulu Sebelum I'tikaf Full 10 Hari Terakhir di Bulan Ramadhan
Modernitas telah menciptakan paradoks:
kita semakin terhubung secara digital, namun terasing secara spiritual. I'tikaf
adalah antitesis dari keterasingan ini, sebuah isolasi fisik yang justru
menciptakan konektivitas metafisik.
Ibunda Aisyah meriwayatkan: "Nabi Muhammad selalu beri'tikaf pada
sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat" (HR.
Al-Bukhari dan Muslim). Ini bukan sekedar ritual, tetapi paradigma
eksistensial.
I'tikaf adalah diskontinuitas sementara
dengan dunia material untuk menciptakan kontinuitas dengan alam spiritual.
Ketika smartphone dinonaktifkan, email tidak direspons, dan media sosial
diabaikan, terjadilah dekonstruksi ego yang memungkinkan rekonstruksi
spiritualitas.
Imam Al-Ghazali pernah berkata, "Keheningan adalah bahasa Tuhan,
sementara kebisingan adalah bahasa dunia." I'tikaf adalah ruang
hegemoni keheningan di tengah dunia yang hiper-verbal.
Pernahkah anda merenungkan bahwa kubur
adalah bentuk i'tikaf permanen? Jika anda tidak mampu melakukan i'tikaf
sukarela selama 10 hari, bagaimana anda akan menghadapi i'tikaf paksa untuk
waktu yang tidak terhingga?
Mayoritas manusia modern menderita
penyakit yang saya sebut "fobia kesendirian", yakni ketakutan
patologis untuk berhadapan dengan diri sendiri tanpa distraksi. I'tikaf adalah
terapi radikal untuk patologi ini.
Jangan
Mati Dulu Sebelum Sholat dengan Khusyu'
Shalat tanpa khusyu' seperti jasad tanpa
ruh, ada bentuk namun tidak ada esensi. Tragedi terbesar dalam ibadah adalah
ketika ritual menjadi otomatis sementara maknanya terevaporasi.
Allah SWT menegaskan: "Sungguh beruntung orang-orang yang
beriman, yaitu orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya" (QS.
Al-Mu'minun: 1-2). Perhatikan bagaimana khusyu' menjadi prasyarat pertama
keberuntungan, bahkan sebelum zakat dan ketaatan lainnya disebutkan.
Al-Hasan Al-Bashri dengan tegas berkata, "Apa yang bisa dibanggakan oleh orang
yang mengaku beriman jika dalam shalatnya dia justru lalai?" Ini
adalah kritik epistemologis yang menghentak; bagaimana mungkin mengklaim
beriman kepada Yang Ghaib sementara dalam komunikasi langsung dengan-Nya
pikiran justru berkelana?
Nabi Muhammad SAW memperingatkan: "Sesungguhnya seseorang selesai shalat
dan tidak dicatat untuknya dari shalatnya kecuali separuhnya, sepertiganya,
seperempatnya…" (HR. Abu Dawud). Ini adalah audit spiritual yang
menunjukkan bahwa kuantitas tidak otomatis berkorelasi dengan kualitas.
Kisah Umar bin Al-Khattab yang tetap
menyelesaikan shalatnya meski tertusuk oleh Abu Lu'lu'ah menjadi antitesis dari
kondisi kita yang bahkan terganggu konsentrasinya hanya karena suara ponsel
bergetar.
Khusyu' bukan soal teknis, tetapi
transformasi ontologis, dari makhluk yang terikat waktu menjadi entitas yang
melampaui temporalitas. Ketika khusyu', anda bukan lagi sekadar tubuh
jasmaniah, tetapi ruh yang sedang berkomunikasi dengan Yang Maha Suci.
Jangan
Mati Dulu Sebelum memuaskan Istri
Diskursus seksualitas dalam Islam
seringkali terjebak dalam dua ekstrem: vulgarisasi atau tabuisasi. Padahal,
Islam memiliki perspektif yang sangat proporsional dan filosofis tentang relasi
intim suami-istri.
Allah SWT berfirman: "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma'ruf" (QS. Al-Baqarah: 228). Ayat ini mengandung
prinsip resiprokalitas dalam relasi matrimonial, termasuk dalam hal kepuasan
seksual.
Rasulullah Muhammad SAW bersabda: "Janganlah salah seorang dari kalian
menggauli istrinya seperti binatang" (HR. Ad-Dailami). Ini adalah
kritik terhadap relasi seksual yang hanya berorientasi pada hasrat egoistik
tanpa mempertimbangkan aspek intersubjektivitas.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin
menjelaskan dengan detail bahwa suami harus memastikan kepuasan istrinya
tercapai sebelum dirinya. Ini bukan sekadar etika seksual, tetapi manifestasi
keadilan interpersonal.
Kisah di masa Umar ibnul Khattab
memberikan ilustrasi menarik. Seorang wanita mengadu bahwa suaminya terlalu
sibuk beribadah hingga mengabaikan kebutuhan biologisnya. Umar tidak menganggap
ini sebagai keluhan sepele, tapi meresponnya dengan serius dan menegur sang
suami.
Kepuasan seksual istri adalah parameter
keadilan suami. Mengabaikannya berarti melakukan kezaliman terselubung dalam
institusi pernikahan. Suami yang egois di ranjang cenderung egois juga dalam
aspek kehidupan lainnya.
Mempersiapkan Narasi Akhir
Empat imperatif di atas: berdonasi untuk
Palestina, i'tikaf penuh, shalat khusyu', dan memuaskan istri, mungkin terlihat
tidak berkorelasi. Namun sesungguhnya keempatnya memiliki benang merah:
keseimbangan antara dimensi vertikal (hubungan dengan Allah SWT) dan horizontal
(hubungan dengan sesama) dalam hidup seorang Muslim.
Ahli hikmah pernah berkata, "Hiduplah seperti engkau akan mati
besok, dan belajarlah seperti engkau akan hidup selamanya." Ini adalah
formulasi dialektis yang sempurna antara urgensi dan kontinuitas.
Kematian bukanlah akhir narasi, melainkan
transisi dari satu bab ke bab lainnya dalam novel kosmik yang ditulis oleh
Allah SWT. Pertanyaannya adalah: apakah bab kehidupan dunia kita cukup menarik
untuk dijadikan prolog bagi kehidupan akhirat yang kekal?
Jangan sampai kita termasuk dalam
kategori yang Allah SWT gambarkan: "Hingga
datang kematian kepada salah seorang di antara mereka, dia berkata, 'Ya
Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal shalih yang telah
aku tinggalkan'" (QS. Al-Mu'minun: 99-100). Ini adalah representasi
dari penyesalan yang terlambat, tragedy
par excellence dalam drama kehidupan.
Marilah kita bersegera dalam empat imperatif
ini sebelum kematian datang tanpa pemberitahuan. Sebab dalam aksioma ontologis
Islam, kualitas hidup diukur dari kualitas kematian, dan kualitas kematian
ditentukan oleh persiapan sebelumnya.
Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar: