Setiap tahun
kaum muslimin sslalu mempersiapkan dan menyibukan diri dengan harta kekayaaan
yang dimiiki untuk melakukan ketaatan dengan menyembelih hewan qurban, karena
qurban merupakan salah satu sarana untuk bertaqarrub kepada Allah SWT. Sayyid
Muhammad Alawi al-Maliki dalam kitabnya ‘Syariatullah al-Khalidah’ menyatakan
bahwa hal ini telah menjadi tradisi agama secara turun temurun semenjak disyari’atkannya
pada tahun 2 hijriyah.
Adapun dalil
yang menjelaskannya, “Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu
‘anhu bahwasanya dia berkata, “Saya menghadiri shalat idul-Adha bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di mushalla (tanah lapang). Setelah
beliau berkhutbah, beliau turun dari mimbarnya dan didatangkan kepadanya seekor
kambing. Kemudian Rasulullah SAW menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri, seraya
mengatakan: Dengan nama Allah. Allah Maha Besar. Kambing ini dariku dan dari
orang-orang yang belum menyembelih di kalangan umatku.” Abu Dawud dalam
Sunan-nya (II/86), At Tirmidzi dalam Jami’-nya (1.141) dan Ahmad (14.308 dan
14.364).
Karena telah
menjadi tradisi yang turun temurun, memahami esensi dan hukum qurban sangatlah
penting. Secara garis besar pembahasan hukum qurban terbagi menjadi dua yaitu :
Hukum qurban
bagi Rasulullah SAW.
Adapun
hukumnya adalah wajib. Imam Khatib as-Syirbini mengatakan dalam kitabnya
al-Mughni :“Adapun hukum berqurban bagi Nabi SAW adalah wajib” (Mughni/6/162)
Hal ini
dikarenakan Rasulullah SAW bersabda :
“Diwajibkan
bagiku untuk berqurban sedangkan bagi kalian tidak wajib” (HR ad-Daruqutni)
Menurut Imam
Muhammad ibn Thulun ad-Damasyqi al-Hanafi dalam kitabnya ‘Mursyidul Mukhtar’
mengatakan bahwa qurban merupakan ‘khashais’ atau kekhususan Nabi saaw karena
baginya wajib dan bagi umatnya sunnah. (Mursyid/18) Beliau berdalil
dengan hadis Ibnu Abbas :“Tiga perkara bagiku hukumnya wajib dan bagi kalian
hukumnya sunnah yaitu berkurban, shalat witir ,dan dua rakaat dhuha” (HR
Ahmad, Baihaqi, dan Daruqutni 21/2)
Maka dari
itu wajib bagi Nabi SAW untuk berqurban setiap tahun.
Hukum kurban
bagi umatnya
Pada
pembahasan yang kedua ini ulama bersilang pendapat. Majelis Tarjih dan Tajdid
PP Muhammadiyah dalam buku ‘Pengembangan HPT (II) : Tuntunan Idain dan Qurban’
mengelompokkan pendapat ulama menjadi dua pendapat :
Perbedaan
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut;
Abu Hanifah,
al-Auza’iy, dan Malik berpendapat bahwa qurban hukumnya wajib. Hal ini
diperkuat oleh pernyataan Imam Ibnu Abidin al-Hanafi dalam kitabnya, ‘Rad
al-Mukhtar’,
“Adapun yang
berpendapat hukum berqurban itu wajib adalah Abu Hanifah, Muhammad, Zufar,
al-Hasan dan salah satu riwayat dari Abu Yusuf.” (Radd/9/454)
Adapun dalil
yang dijadikan dasar adalah ;
“Maka
shalatlah kamu karena Tuhanmu dan sembelihlah (qurbanmu).” (Q.S. Al-Kautsar:1-2)
Imam
al-Kasani al-Hanafi mengatakan dalam kitabnya ‘Bada’i’ as-Shana’i’,
“Dan mutlak
amr atau perintah itu dalil yang menunjukkan hukum wajib diamalkan dan jika
wajib bagi Nabi SAW maka wajib pula bagi umatnya karena Nabi SAW merupakan suri
tauladan bagi umatnya.” (Bada’i’/4/193)
Hadis Ahmad
dari Abu Hurairah
Dari Abu
Hurarah ra. bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda ”Barangsiapa
yang
memiliki keleluasan harta dan tidak menyembelih hewan qurban, maka janganlah
mendekati tempat shalat kami”. (HR. Ibnu Majah dan Ahmad).
Muhammad Ibn
Ismail al-Kahlany dalam kitab ‘Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram’
menjelaskan bahwa hadis di atas dijadikan dasar oleh sebagian ulama yang
berpendapat bahwa qurban hukumnya wajib bagi orang yang mampu. Secara lengkap
beliau mengatakan sebagai berikut;
“Ulama telah berdalil dengan hadis ini untuk
menentukan hukum wajib berqurban bagi yang mampu, karena Rasulullah SAW.
melarang untuk mendekati tempat shalatnya menunjukkan bahwa dia (yang tidak
berqurban padahal ia mampu) meninggalkan kewajiban, seakan-akan Rasulullah SAW.
bersabda, “Tidaklah shalat yang dilakukan berfaedah, karena meninggalkan kewajiban
berqurban”, karena firman Allah: “Maka shalatlah karena Tuhan kamu dan
berqurbanlah” dan hadis Nabi SAW. “Wajib bagi penghuni rumah berqurban dalam
setiap tahun”. (Subul/4/179)
Hal ini
sesuai dengan pendapat Hanafiyah pada kitab Tanwirul Abshar,”
“Maka
wajiblah berqurban bagi orang yang merdeka, muslim, yang menetap di
kediamannya, dan memiliki kelapangan.” (Tanwir/9/454-457)
Catatan
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah : hadis di atas sesungguhnya adalah
hadis yang dhaif, karena keberadaan seorang perawi yang bernama
Abdullah ibn Ayyash yang munkarul hadis dan lemah hafalan. Namun, Imam al
Baihaqi meriwayatkan hadis di atas dengan sanad lain yang bernilai shahih,
yaitu sanad yang tidak terdapat Abdullah ibn Ayyash di dalamnya. Namun
sayangnya riwayat al-Baihaqi tersebut mauquf, yaitu hanya sampai kepada Abu
Hurairah. Hal ini sesuai dengan kalam
Imam Nawawi
dalam ‘Majmu’ Syarh Muhadzdzab’ :
“Hadis
tersebut diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan selainnya statusnya dha’if akan
tetapi al-Baihaqi berkata dari Tirmidzi bahwa yang benar hadis tersebut mauquf
kepada Abu Hurairah” (Majmu’/8/355)
Imam
as-Syafi’i, Malik dan Ahmad berpendapat bahwa hukum qurban adalah Sunnah
Muakkadah. Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama. Imam Nawawi berkata,
“Telah kami
sebutkan bahwasannya madzhab kita (Syafi’i) mengatakan bahwasannya hukum berqurban
adalah sunnah muakkadah untuk orang yang memiliku kelapangan dan tidak wajib
baginya, ini pendapat kebanyakan ulama, diantaranya Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar
bin al-Khaththab, Bilal, Abu Mas’ud al-Badri, Sa’id bin al-Musayyib, ‘Atha’,
Alqamah, al-Aswad, Malik, Ahmad, Abu Yusuf, Ishaq, Abu Tsaur, al-Muzani, Dawud,
dan Ibnu Mundzir.” (Majmu’/8/354)
Pendapat
mereka didasarkan pada dalil hadis Nabi SAW. dari Ummu Salamah ;
“Apabila
telah masuk hari kesepuluh (bulan Dzulhijjah), dan salah seorang darimu ingin
berqurban, maka ia tidak memotong rambut dan kukunya” (HR Muslim)
Mengenai
hadis ini Imam Syafii berkata,
“Hadis ini
merupakan dalil bahwasannya menyembelih qurban itu bukanlah wajib hukumnya dan
kata “Ùˆ أراد” atau “ingin”
menjadikan qurban tergantung kepada keinginannya saja, jikalau qurban hukumnya wajib
pastilah Rasulullah SAW berkata, jangan menyentuh rambutnya sampai berqurban.” (Majmu’/8/356)
Terkait
pentarjihan hukum terhadap khilaf diatas Majelis Tarjih PP Muhammadiyah
cenderung mengabaikan khilaf tanpa tarjih. Hal ini terdapat dalam buku ‘Pengembangan
HPT (II) : Tuntunan Idain dan Qurban’,
Terlepas
dari adanya perbedaan pendapat mengenai hukum melakukan qurban, tetapi yang
jelas bahwa ibadah qurban itu diperintahkan oleh Allah SWT.”
Akan tetapi
setelah ditinjau ulang penulis melihat bahwa pendapat yang rajih adalah
pendapat jumhur ulama yaitu sunnah mu’akkad, hal ini dilandasi beberapa faktor
:
1. Pendapat
tersebut merupakan pendapat jumhur ulama dan Rasulullah SAW bersabda,
“Dari
Abdullah bin Umar berkata: Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhuma pernah
berkhutbah di Al-Jabiyah seraya berkata: Rasulullah SAW berdiri di hadapan kami
dan bersabda: “Barangsiapa dari kalian menginginkan tinggal di tengah-tengah
syurga, maka hendaklah berpegang teguh kepada Al-Jama’ah, kerana syaitan
bersama seorang (sendirian) dan dia lari dari dua orang, dengan lebih jauh.”
Hadis ini
diriwayatkan oleh: Tirmizi;2254 dalam syarh Tuhfatul Ahwadzi. Ahmad dalam
Musnadnya juz I, hal. 18. Hakim dalam Mustadrak juz I, hal. 114. Baihaqi dalam
Sunanul Kubra juz VII, hal. 91.
“Adapun
jawab untuk dalil mereka yaitu hadis-hadisnya dha’if jika ada yang shahih maka
dapat ditafsirkan sebagai kesunnahan saja sebagai jama’ antar dalil” (Majmu’/8/357)
2. Dalil
Hanafiyah ‘am di takhsis oleh beberapa hadis seperti :
Rasulullah SAW
bersabda, “Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih kurban dan hal itu
merupakan sunnah bagi kalian.” (HR Tirmidzi; 15070)
3. Imam
Nawawi menyatakan jika berqurban hukumnya wajib maka seharusnya tidak akan
gugur kewajibannya jika telah lewat waktu pelaksanaannya seperti shalat Jumat,
sedangkan Hanafiyah sesuai pendapat kita bahwasannya ketika lewat waktunya maka
tidak wajib qadha qurban (Majmu’/8/357)
24. Para
shahabat berpendapat bahwasannya hal tersebut sunnah,
“Diriwayatkan
bahwasannya Abu Bakar dan Umar radhiyallahu’anhuma tidak menyembelih qurban
karena mereka takut bahwasannya orang-orang melihatnya suatu kewajiban” (HR Baihaqi dan selainnya
dengan isnad hasan)
5. Karena
hukum tersebut sesuai dengan prinsip taysir yang menjadi Manhaj Tarjih
Muhammadiyah. dengan tidak mewajibkan qurban sehingga orang-orang menjadi tidak
terbebani.
sekalipun
pendapat rajih menurut hemat penulis adalah pendapat jumhur, akan tetapi kita
harus tetap menghargai dan menghormati dn menghargai pendapat lainnya.
Akan tetapi
patut menjadi perhatian walaupun hukumnya sunnah muakkad akan tetapi makruh
meninggalkannya karena ada khilaf didalamnya. Imam Baijuri menukil perkataan
Imam Syafi’i :
“Imam Syafi’i
berkata, “Aku tidak memberi keringanan bagi orang mampu untuk tidak melaksanakan
qurban” Imam Baijuri menjelaskan bahwasannya maksudnya adalah dimakruhkan
meninggalkan ibadah qurban bagi orang yang mampu melaksanakannya.” (Hasyiyah/2/556)
Maka dari
itu mari kita syi’arkan Islam dan ajarannya dengan ibadah berqurban, sebelum
kita menghadap kepada Allah Swt, karena dalam hidup ini kalau bukan kematian
yang datang lebih dudulu pada kita, ya kebaikan dan ketaatan yang harus kita
lakuan ! Wallahua’lambishawab

Tidak ada komentar: