Firman Allah SWT;
.....وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ....
...janganlah kalian membunuh diri sendiri...
Menghadapi masalah hidup yang datang bertubi-tubi membuat seseorang mengalami depresi dan mengambil keputusan yang sangat berisiko besar yaitu Bunuh Diri. Pernahkah kita terpikir untuk “Bunuh Diri”? Tentunya Boleh kan? tapi bukan dalam artian fisik. Dan juga Bukan soal mengakhiri hidup dengan tindakan tragis. Saya bicara tentang “Bunuh Diri” yang jauh lebih mendalam, yaitu tentang mengakhiri satu sisi diri kita yang selama ini menjadi penjara semu. Bukan tubuh yang mati, tapi citra diri yang usang dan negatif. “Bunuh Diri” yang penulis maksudkan adalah membunuh stagnasi. Membunuh kenyamanan semu. Misalnya Membunuh kebiasaan pasrah pada arus hidup yang seakan-akan tidak punya arah. Hal ini justeru menjadi panggilan untuk hidup, bukan mati. Melainkan untuk bangkit, berubah, bukan tenggelam dan hanyut dalam situasi yang melenakan.
Pembaca mungkin bertanya-tanya, kenapa harus membunuh? Karena kadang untuk membangun sesuatu yang lebih baik, kita perlu menghancurkan apa yang sudah ada dan menjadi hal biasanya, padahal kurang begitu baik untuk menjalani kehidupan ke depannya. Kita perlu menghapus citra diri yang menghalangi langkah kita untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri.
Bunuh Rutinitas yang Membuat Anda Mati Perlahan
Ada satu hal yang terkadang menyesakkan: yaitu rutinitas. Kita bangun setiap pagi, melakukan hal yang sama berulang-ulang. Hidup seperti robot. Tidak ada makna, tidak ada tujuan. Hanya tubuh yang bergerak, tapi jiwa seperti tertinggal di suatu tempat. Ibarat air mengalir begitu saja, mengikuti arus hidup yang entah menuju ke mana.
Rutinitas seringkali dianggap sebagai lambang stabilitas. Aman. Nyaman. Tapi pembaca harus tahu? Bahwa rutinitas itu diam-diam membunuh anda.
Rasulullah ﷺ pernah berkata,
"Seorang mukmin dengan mukmin lainnya adalah bagaikan bangunan yang saling menguatkan antara satu dengan lainnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Ini bukan sekadar tentang peduli pada orang lain. Tapi lebih pada masalah hidup dengan tujuan. Jika kita bangun setiap hari tanpa memikirkan sesuatu yang lebih besar dari dalam diri kita, dan jika kita hanya terjebak dalam siklus kerja-tidur-kerja-tidur, maka sebenarnya kita sudah mati. Karena itu mari bunuh rutinitas kurang berkualitas itu sebelum ia membunuh kita.
“Bunuh Diri” di sini adalah langkah untuk membunuh pola hidup yang kosong dan hampa, yang hanya mengalir tanpa makna.
Dalam Al-Quran, Allah SWT menegaskan:
"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS. Al-Hasyr: 19)
Orang yang lupa makna hidup, dengan mengabaikan tujuan hidupnya, pada akhirnya lupa jati dirinya. Lupa bahwa hidup ini harus dijalani dengan penuh kesadaran dan kebangkitan diri. “Bunuh Diri” yang penulis serukan adalah meninggalkan dan melupakan setiap sesuatu yang menutup arah dan makna hidup di dunia ini.
Hidup Harus Realistik
Sebagian orang takut menjadi idealis. Takut dicap terlalu muluk. Takut dianggap tidak realistis. Tapi di situlah masalahnya. Siapa bilang menjadi idealis itu berlawanan dengan realita? Justru idealisme tanpa realisme hanyalah angan-angan. Dan realisme tanpa idealisme adalah rutinitas membosankan dan bahkan menjerumuskan.
Ada yang bilang, menjadi idealis itu melelahkan. Dunia terlalu keras, kata mereka. Tapi, siapa yang peduli? Menjadi idealis berarti kita punya impian yang lebih besar dari sekadar kenyamanan. Menjadi idealis berarti kita berani mempertanyakan, berani bermimpi, berani melawan arus. Tapi tentu saja, kita tetap harus realistis. Menjadi idealis bukan berarti kita hidup dalam fantasi utopia. Itu berarti kita berjalan dengan kedua kaki menapak tanah sembari mata menatap bintang.
Dalam kehidupan ini, anda perlu menjadi lebih dari sekadar penonton. Sebenarnya kita ini adalah lakon dalam cerita diri sendiri. Jangan biarkan dunia memadamkan api kita. Bunuh rasa takut untuk bermimpi besar. Bunuh persepsi negatif tentang menjadi orang idealis. Saatnya berhenti bermain aman dan mulailah beranjak dari zona nyaman ke zona realistik.
Apa Arti Hidup
Ada perbedaan besar antara "sekadar harus hidup" dan "hidup yang seharusnya." Hidup hanyalah eksistensi biologis. Kita bisa menghabiskan 70 tahun tanpa benar-benar memahami kenapa kita di sini. Hidup yang seharusnya, sebaliknya, adalah menjalani hidup dengan tujuan, visi, dan kesadaran. Ini bukan soal mengejar materi, jabatan, atau status sosial. Ini soal bagaimana kita memaknai keberadaan kita.
Rasulullah ﷺ bersabda:"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain." (HR. Ahmad)
Pesan ini sangat jelas. Kita punya tanggung jawab lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kita punya kewajiban untuk memikirkan apa yang bisa kita lakukan, bagaimana kita bisa berdampak, dan bagaimana hidup ini bisa lebih dari sekadar rutinitas.
Sering kali kita hidup dengan pola yang diwariskan. Kita mengikuti jalur yang sama dengan orang tua kita, tetangga kita, atau masyarakat pada umumnya. Tapi itu bukan hidup yang seharusnya. Hidup yang seharusnya adalah hidup yang anda pilih sendiri. Hidup yang anda ciptakan, bukan yang diwariskan atau dipaksakan oleh sistem. Ini hidup anda. Ini umur anda.
Coba Pikirkan sejenak. Jangan hidup di bawah bayang-bayang orang lain. Bunuh kebiasaan itu. Jangan takut untuk mengambil jalan yang berbeda, selama menopang kualitas hidupnya.
Membunuh Citra Diri yang Negatif
Kita hidup di dunia yang penuh dengan cermin. Setiap hari kita melihat diri kita, dalam cermin fisik, dalam tatapan orang lain, dalam ekspektasi yang dibuat oleh masyarakat. Citra diri negatif mulai muncul ketika kita membiarkan bayangan-bayangan itu menguasai kita. Bayangan kegagalan, bayangan ketidakberdayaan, bayangan bahwa kita tidak cukup baik. Dan parahnya, kita percaya pada bayangan itu.
Padahal, kita tahu dalam hati, itu bukan diri kita yang sebenarnya.
Allah SWT berfirman,
"Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (QS. At-Tin: 4)
Tapi kita tidak pernah merasa baik-baik saja. Kita merasa rusak, tidak sempurna, kalah. Citra diri itu adalah kebohongan yang harus anda bunuh. Jangan biarkan ia hidup lebih lama lagi di kepala anda.
Sebagaimana Nabi ﷺ mengingatkan kita:
"Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada Mukmin yang lemah, meskipun dalam keduanya ada kebaikan." (HR. Muslim)
Kekuatan di sini bukan hanya fisik, tapi juga mental. Kekuatan untuk melepaskan diri dari jeratan citra negatif.
Menjadi Versi Terbaik
Apa sebenarnya tujuan hidup jika bukan untuk menjadi versi terbaik dari diri kita? Setiap hari adalah kesempatan baru untuk memulai lagi. “Bunuh Diri” yang saya ajak di sini adalah langkah pertama untuk membebaskan diri dari segala penghalang menuju potensi terbaik kita. Kita tidak harus terus-menerus menyerah pada rasa takut, ketidakpastian, atau kebiasaan lama. Ini saatnya kita berani untuk hidup, bukan hanya menumpang eksis.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung niatnya, dan sesungguhnya seseorang akan mendapatkan apa yang dia niatkan." (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika kita berniat untuk membunuh sisi diri yang lemah, yang stagnan, yang pasrah, maka kita akan mendapatkan semangat baru dan kehidupan yang lebih bermakna.
Ayo “Bunuh Diri”, Ayo Hidup Kembali
Allah SWT berfirman:
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. At-Talaq: 2-3)
Taqwa adalah kunci. Dengan mem-”Bunuh Diri” yang negatif, kita membuka jalan menuju kehidupan yang penuh keberkahan. Ini adalah panggilan untuk “Bunuh Diri” dalam arti spiritual: “Bunuh Diri” dari segala hal yang menjauhkan anda dari jalan yang benar.
Ayo “Bunuh Diri”. Bunuh citra diri negatif yang selama ini membelenggu anda. Bunuh rutinitas yang membuat anda mati rasa. Dan temukan hidup yang seharusnya. Hidup yang penuh makna, hidup yang penuh dengan mimpi-mimpi besar, hidup yang idealis namun tetap realistis. Inilah hidup yang Allah kehendaki untuk anda. Itu baru hidup yang seharusnya.
Reviewed by sangpencerah
on
Februari 13, 2025
Rating:





Tidak ada komentar: