AL MUFSIDIN, SEBAGAI BIANG KEROK BANJIR (1)

 AL MUFSIDIN, SEBAGAI BIANG KEROK BANJIR (1)
Oleh. Ust. Drs. H. Radix Mursenoaji
Ketua Majelis Tabligh PDM Kota Malang



 

Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan sangat sempurna bentuk dan rupanya dibandingkan makhluk lain dari ciptaan Allah SWT di muka bumi ini. Kesempurnaan itu bisa dilihat dari sisi akal, hati dan nafsunya, sedangkan makhluk lainnya hanya dianugerahi  nafsu dan hati, ada juga yang dianugerahi akal dan hati saja. Karena itulah maka Allah SWT memberikan amanah kepada manusia untuk menjadi  Khalifatu fil aldhi (pengganti/pengelola alam seisinya) . pembahsan ini didasarkan kepada firman Allah SWT. Misalnya dalam surat at-Tiin: 4.

 

لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ

 

Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk fisik yang sebaik-baiknya, jauh lebih sempurna daripada hewan. Kami juga bekali mereka dengan akal dan sifat-sifat yang unggul. Dengan kelebihan-kelebihan itulah Kami amanati manusia sebagai khalifah di bumi.

 

Demikian juga dengan tugas manusia sebagai khalifatu fil ardhi dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat al-baqarah:30.

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ 

  

"(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

 

Salah satu penjelasan dari ayat ini yaitu Setelah pada ayat-ayat terdahulu Allah SWT menjelaskan adanya kelompok manusia yang ingkar atau kafir kepada-Nya, maka pada ayat ini Allah SWT menjelaskan asal muasal manusia sehingga menjadi kafir, yaitu kejadian pada masa Nabi Adam. Dan ingatlah, wahai Rasul, satu kisah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah, yakni manusia yang akan menjadi pemimpin dan penguasa, di bumi.” Khalifah itu akan terus berganti dari satu generasi ke generasi sampai hari Kiamat nanti dalam rangka melestarikan bumi ini dan melaksanakan titah Allah SWT yang berupa amanah atau tugas-tugas keagamaan. Para malaikat dengan serentak mengajukan pertanyaan kepada Allah SWT, untuk mengetahui lebih jauh tentang maksud Allah SWT. Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang memiliki kehendak atau ikhtiar dalam melakukan satu pekerjaan sehingga berpotensi merusak dan menumpahkan darah di sana dengan saling membunuh, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Malaikat menganggap bahwa diri merekalah yang patut untuk menjadi khalifah karena mereka adalah hamba Allah SWT yang sangat patuh, selalu bertasbih, memuji Allah SWT, dan menyucikan-Nya dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya. Menanggapi pertanyaan malaikat tersebut, Allah SWT berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Penciptaan manusia adalah rencana besar Allah SWT di dunia ini. Allah SWT Mahatahu bahwa pada diri manusia terdapat hal-hal negatif sebagaimana yang dikhawatirkan oleh malaikat, tetapi aspek positifnya jauh lebih banyak. Dari sini bisa diambil pelajaran bahwa sebuah rencana besar yang mempunyai kemaslahatan yang besar jangan sampai gagal hanya karena kekhawatiran adanya unsur negatif yang lebih kecil pada rencana besar tersebut.

 

Kata Al Mufsidiin, dapat ditemukan antara lain dalam  QS. Al –Qashas ayat 77 yang berarti

 

وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ

 

“…..dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.  Kata al mufsidiin berasal dari akar kata fa-sa-da sebagai lawan kata dari shalih. Shalih berarti bagus, baik dan damai sedangkan fasada berarti tidak bagus, tidak baik, jelek dan buruk. Fasad ini menunjukkan sikap manusia yang tidak baik yang berakibat terjadinya kerusakan di bumi, baik kerusakan sumberdaya alam maupun kerusakan social. Di dalam Al Quran, kata fasad dihubungkan dengan semua perbuatan manusia yang bertentangan dengan kebaikan, baik berupa kesombongan, pembangkangan terhadap perintah Allah SWT, pertumpahan darah maupun merujuk kepada pengertian terjadinya kerusakan /  bencana alam.

 

Di dalam QS. Ar-Rum ayat 41, kata fasad secara khusus dihubungkan dengan kerusakan alam dan tatanan moral : Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah SWT merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Jelaslah disini keterangan Allah SWT bahwa tangan-tangan manusia yang telah berbuat kerusakan menyebabkan terjadinya bencana dan bencana itu masih diliputi dengan kasih sayang Allah SWT agar manusia kembali kepada jalan yang benar, yakni tidak mengulangi dan melakukan perbaikan kembali.

Banjir di wilayah Kota Malang dan juga sebagaimana di kota-kota lain di Indonesia, selain disebabkan oleh tingginya curah hujan (sunnatullah-hukum Allah) juga lebih disebabkan oleh kecerobohan / kesalahan perbuatan tangan manusia yang telah berbuat kerusakan terhadap sumberdaya alam yang tersedia baginya.

Aliran air selalu menuju ke tempat yang lebih rendah, menggenang disitu dan jika daya tampung tempat/saluran sudah tidak mampu maka akan meluber dan melimpah serta mengalir lagi kearah tempat yang rendah lagi. Limpahan dan aliran inilah yang kemudian kita sebut sebagai banjir. Sejauh aliran air itu masih cukup pada jaringan saluran aliran airnya (parit, got, selokan, sungai dst) maka banjir tidak akan terjadi.

 

Meluber dan melimpahnya aliran air, juga sering disebabkan oleh pendangkalan karena akumulasi sedimen, atau saluran yang ada telah tersumbat oleh kumpulan sampah. Perilaku masyarakat yang menyebabkan terjadinya sedimentasi dan penyumbatan oleh sampah inilah yang disebut sebagai perbuatan yang membuat kerusakan. Atas perbuatan yang tidak terpuji yang dilakukan oleh sebagian warga, kemudian menyebabkan terjadinya banjir yang menyusahkan banyak orang maka secara masif, kita bisa bayangkan, betapa besar dosa kedzaliman orang pelaku itu. Perbuatan ini adalah perbuatan ceroboh, tidak peduli kepada lingkungan hidupnya.

Apabila sampah dan pendangkalan itu ternyata menyebabkan terkumpulnya berbagai macam jenis sampah dan bangkai–bangkai; Jika kotoran–kotoran ini ternyata menjadikan terjadinya penyebaran macam-macam penyakit atau bahkan terjadi wabah yang menimpa warga sepanjang aliran sungai maka betapa banyak warga yang terdzolimi oleh perbuatan ceroboh itru. Masihkah kita ingat pada masa awal berjangkitnya penyakit flu burung hingga mewabah kepada penduduk yang mukim di sekitar sungai di salah satu kota di Jawa Barat beberapa tahun yang lalu? Ternyata dibalik tersebarnya penyakit itu adalah akibat adanya bangkai-bangkai ayam yang mati dibuang oleh warga masyarakat yang tinggal di daerah hulu sungai itu. Tentu, warga yang membuang bangkai ayam tidak tahu dan tidak mengira bahwa akibat kecerobohannya telah menyebabkan terjadinya korban–korban warga yang tinggal di daerah hilir atau sepanjang sungai.

 

فَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلٰكِنْ كَانُوْٓا اَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُوْنَ

 

“… Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri!” ( QS. At Taubah :70).

 

Allah SWT menciptakan manusia dalam bentuk bangsa-bangsa maupun suku-suku adalah untuk saling mengenal. Dari saling mengenal (li ta’aarafuu) tentu akan berlanjut terbentuknya hubungan social yang lebih intens dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Hal ini sebagimana di Firmankan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Hujurat 13 yang artinya :


يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ 


Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” ( QS. Al-Hujurat 13).

 

Sebagai kelanjutan dari li ta’aarafuu – saling mengenal tidak hanya saling kenal dalam identitas namun juga mengandung relasi positip saling menolong –“ ta’aawanuu” seperti di tegaskan oleh Allah SWT dalam QS. Al –Maidah ayat 2, yang artinya : “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” ( QS. Al – Maidah : 2)

Memahami kedua Firman Allah SWT tersebut diatas, sebenarnya Allah SWT telah mengajarkan kepada kita, bahwa kita dalam hidup ini antara lain harus selalu berusaha menjadi orang yang bertaqwa dengan hidup secara sosial saling menguntungkan, membawa kebaikan dengan cara saling menolong dalam urusan kebaikan, namun tidak tolong menolong dalam berbuat kerusakan. Pengertian ini terjabar dalam hubungan yang saling memberikan kebaikan, saling menguntungkan antara masyarakat pemukim di daerah hulu sungai dengan masyarakat yang berdomisili pada hilir sungainya.

Rasa sosial yang menyatu dalam menjaga kelestarian alam-lingkungan hidup, melahirkan tindakan yang bertanggungjawab atas lingkungan masing-masing dan saling menjaga dalam kebaikan atas motivasi moral-spiritual. Warga muslim terhindar dari perilaku Al Mufsidin yakni sebagai biang kerok terjadinya bencana.  Jadi setiap bencana yang terjadi di muka bumi, karena ulah manusia itu sendiri.




AL MUFSIDIN, SEBAGAI BIANG KEROK BANJIR (1)  AL MUFSIDIN, SEBAGAI BIANG KEROK BANJIR (1) Reviewed by sangpencerah on Desember 19, 2024 Rating: 5

Tidak ada komentar: