AMAL KEBAIKAN SEPANJANG MASA

AMAL KEBAIKAN SEPANJANG MASA
Oleh. Hafidz, S.Pd., M.Pd.I
(Anggota CMM dan MPI PDM Kota Malang)




Pasca Hari Raya Idul fitri, seluruh kaum Muslimin baik yang masih anak-anak, dewasa, yang tua bahkan lansia, semuanya menampakan raut wajah ceria bahagia, seakan-akan tanpa beban apapun dalam kehidupannya. Secara manusiawi hampir tidak ada dari mereka yang terlihat sedih, gundah gulana pada hari-hari syawal, karena mereka telah meraih kemenangan dan dan RahmatNya sehingga mereka bergembira. Hal ini sesuai dengan fiman Allah SWT’


قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَالِكَ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ


Katakan (Muhammad) dengan karunia Allah dan rahmaNya itu, hendaklah mereka bergembira, karunia dan rahamat itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan (QS. Yunus;10:58)


Dari ayat di atas, orang yang beriman harus menunjukan rasa bahagia dan gembra saat datangnya hari raya yang merupakan karunia dan rahmat dari Allah SWT. Demikian juga halnya dengan kemenangan yang telah diraih pada hari raya idul fitri. Yang perlu dipahami bawa kemenangan di sini adalah kemenangan sejati. Kemenangan sejati, yaitu dapat menyelesaikan ibadah puasa sebulan lamanya, dengan harapan ibadahnya diterima Allah SWT, dengan bukti diperolehnya mpunan dari Allah SWT. Akan tetapi bisa juga kemenangan sesaat, yaitu terbebasnya mereka dari ibadah puasa yang dilakukan 1 bulan penuh, dengan menahan berbagai aktifitas yang menjadi kebiasaan sebelumnya, kini mereka merasa terbebas dari semua kekangan hawa nafsu, dan mereka membiarkan hawa nafsu merajalela kembali seperti sebelum ramadhan. Padahal Allah SWT telah mengingtkan pada hamba-hambaNya dalam surat an-Nahl:92, janganlah kalian seperti seorang prempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali. Dan kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu diantaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan lainnya. Artinya ibadah dan amal shalih serta kebaikan apapun yang sudah biasa kita lakukan selama Ramadhan, jangan sampai tidak tersisa, karena ikut pergi bersama bulan suci Ramadhan. Maka harus ada upaya untuk melestarikan atau mengistiqamahkan dalam bulan-bulan setelah ramadhan. Termasuk kebiasaan kaum muslimin pasca hari raya dengan bersilaturrahim ke seluruh sanak keluarga, dan kolega abhkan memperluas dengan orang-orang yang tidak kenal sebelumnya. Bagaimana sebenarnya hal seprti ini terjadi di kalangan kuam muslimin?  


Firman Allh SWT;


وَالَّذِيْنَ يَصِلُوْنَ مَآ اَمَرَ اللّٰهُ بِه اَنْ يُّوْصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُوْنَ سُوْۤءَ الْحِسَابِۗ


Orang-orang yang menghubungkan apa yang Allah perintahkan untuk disambungkan (seperti silaturahim), takut kepada Tuhannya, dan takut (pula) pada hisab yang buruk.(QS. Ar-Ra’du:21)



Memperhatikan banyak literasi dalam tafsir ayat-ayat al-Qur’an, dijumpai penjelasan dari ayat di atas sebagai berikut: yaitu Allah SWT menyifati Ulul Albab dari kalangan orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang meyakini bahwa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah suatu kebenaran yang berlaku sepanjang kehidupan manusia, sifat Ulul Albab itu seagai berikut; 


Sifat pertama: bahwa orang-orang tersebut senantiasa memenuhi janji Allah SWT, dan tidak mau mengingkari perjanjian itu. Yang dimaksud dengan "janji Allah SWT" di sini ialah janji-janji yang telah mereka ikrarkan atas diri mereka sendiri, baik mengenai hubungan mereka dengan Allah SWT, maupun hubungan mereka dengan orang lain. Fitrah mereka yang suci, dan hati mereka yang murni mengakui adanya perjanjian itu dan wahyu Allah SWT pun mengharuskan adanya perjanjian tersebut. Mereka tidak mau mengingkari atau pun memungkiri perjanjian yang telah mereka kukuhkan, karena mereka sangat menjauhi sifat-sifat kemunafikan. Betapa pentingnya sifat memenuhi janji ini, dalm sebuah riwayat dari Qatadah telah disebutkan bahwa dalam Al-Quran, Allah SWT telah menyebutnya sebanyak lebih dua puluh kali.


Sifat kedua: mereka memelihara semua perintah Allah SWT dan tidak melanggarnya, baik hak-hak Allah SWT maupun hak-hak hamba-Nya, termasuk memelihara silaturrahim.

Hubungan antara sesama manusia ialah menjalin hubungan tolong-menolong, menjalin cinta dan kasih-sayang, sebagaimana disebutkan dalam hadis: Dari Abi Hurairah r.a. bahwasanya ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa senang dilapangkan rezekinya dan selalu disebut-sebut kebaikannya, maka hendaklah pelihara hubungan silaturrahim." (HR Bukhari dan Muslim). Dalam hadis lain Nabi SAW: Dari Ibnu Abbas ia berkata, "Bersabda Rasulullah SAW, "Sesungguh-nya kebajikan dan menghubungkan silaturrahim itu, kedua-duanya benar-benar meringankan hisab yang buruk di hari kiamat." Kemudian Rasulullah SAW membaca ayat ini." (HR al-Khatib dan Ibnu Asakir.


Sifat ketiga: mereka benar-benar takut kepada Allah SWT Sifat takut kepada Allah adalah perasaan takut yang dilandasi dengan rasa hormat yang mendorong seseorang untuk taat kepada-Nya. Sifat ini dimiliki oleh para ‘ulama, dan ciri dari orang-orang "muqarrabin". Dalam hubungan ini Allah SWT telah berfirman: Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. (QS. Fathir/35: 28) 


Sifat keempat: mereka senantiasa takut kepada hisab yang sifatnya merugikan mereka pada hari kiamat, yaitu hasil yang buruk dari amalan mereka di hari kiamat, karena banyaknya kejahatan yang dilakukannya sewaktu hidup di dunia ini. Oleh sebab itu, mereka senantiasa mawas diri, sebelum dihisab amalannya di akhirat kelak. Mereka selalu membandingkan antara amal-amal mereka yang baik dengan yang buruk, selalu berusaha agar amal yang baik lebih banyak dari perbuatan yang buruk, agar neraca kebajikan mereka di akhirat kelak lebih berat daripada neraca keburukan. Dalam hal ini, Allah telah berfirman: Maka adapun orang yang berat timbangan (kebaikan)-nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan (senang). Dan adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)-nya maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. (QS. al-Qariah/101:6-9) 


Sifat kelima: mereka senantiasa sabar dalam menghadapi segala cobaan dan rintangan, demi mengharapkan ridha Allah SWT. Sabar dalam hal ini berarti menahan diri terhadap segala hal yang tidak disenanginya, baik dengan cara melakukan ketaatan dan menunaikan segala kewajiban yang telah ditetapkan agama maupun dengan jalan menjauhi hal-hal yang dilarang agama. Bisa juga sikap rela menerima segala ketentuan Allah SWT yang telah berlaku berupa musibah dan lain sebagainya dalam proses berkehidupan di dunia .

Kesabaran yang diminta dari setiap orang yang berakal dan beriman ialah kesabaran yang dilakukan semata-mata karena mengharapkan keridhaan Allah SWT dan balasan-Nya, bukan kesabaran yang dibuat-buat karena ingin dipuji dan disebut-sebut disanjung. Itulah kesabaran yang sejati, yang menjadi sifat bagi orang-orang yang berakal dan beriman. 


Sifat keenam: mereka senantiasa mendirikan shalat. Arti "mendirikan shalat" ialah menunaikan dengan cara yang sebaik-baiknya, dengan menyempurnakan rukun dan syaratnya, disertai rasa khusyu’ dan tawadhu’ menghadapkan wajah dan hati kepada Allah SWT semata, tidak dibarengi dengan riya’, serta memelihara waktu yang telah ditetapkan untuknya. Hal ini hanya dapat dilakukan jika pada saat-saat melakukan shalat, kita merasa sedang berdiri sendiri di hadapan Allah SWT, Pencipta dan Penguasa semesta alam. 

Dengan demikian, maka tidak ada sesuatu pun yang dipikirkan pada saat itu, kecuali semata-mata bermunajat kepada Allah SWT. 


Sifat ketujuh: mereka senantiasa menginfaqkan sebagian dari rezeki yang telah dilimpahkan Allah SWT kepada mereka, baik secara tersembunyi maupun terang-terangan, baik infaq wajib seperti terhadap istri, anak, dan karib kerabat maupun infaq sunah seperti terhadap fakir miskin. Kenyataan ini dapat memberikan pengertian kepada kita tentang rahasia yang tersimpan di dalamnya. Al-Quran berulang kali menganjurkan kepada orang-orang mukmin untuk menginfaqkan sebagian dari rezeki yang telah diperolehnya kepada yang memerlukan pertolongan, dan untuk kepentingan umum. Jika mereka mau melakukannya, niscaya kemiskinan dan kemelaratan dapat dilenyapkan dari kehidupan masyarakat. 


Sifat kedelapan: mereka senantiasa menolak kejahatan dengan kebajikan, karena kebajikan itu dapat menolak kejahatan. Kenyataan menunjukkan bahwa apabila seseorang dapat bergaul dengan orang lain dengan akrab dan kasih sayang serta menolong orang-orang yang memerlukan pertolongan, ia tidak akan dimusuhi atau dibenci oleh masyarakatnya. Apabila ia mendapat musibah, maka orang yang pernah mendapat pertolongannya akan segera mengulurkan pertolongan kepadanya. Sebaliknya orang yang suka menyakiti orang lain, atau enggan memberikan bantuan dan pertolongan adalah orang yang egois dan tidak menggunakan akalnya. Sikap dan perbuatannya itu hanyalah mempersempit ruang lingkup kehidupannya sendiri, serta menimbulkan kebencian dan kedengkian orang lain terhadap dirinya. Berbuat kebaikan untuk menghindari kejahatan, atau sedapat mungkin membalas perbuatan jahat orang lain dengan berbuat kebajikan atau dengan diam adalah tanda orang yang mau menggunakan akalnya dan bijaksana. Firman Allah SWT: "... dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, "salam." (QS. al-Furqan/25: 63) Dari sini dapat dipahami, betapa tingginya nilai ajaran agama Islam dalam membina hubungan baik antara sesama manusia guna menciptakan kerukunan dan kesejahteraan masyarakat. Pada akhir ayat ini, Allah SWT menegaskan bahwa orang-orang yang memiliki sifat-sifat tersebut pasti akan memperoleh tempat kediaman terakhir yang baik, yaitu surga Jannatun Naim di akhirat kelak di samping kebahagiaan, ketenangan, dan kesejahteraan di dunia ini.



AMAL KEBAIKAN SEPANJANG MASA AMAL KEBAIKAN SEPANJANG MASA Reviewed by sangpencerah on April 19, 2024 Rating: 5

Tidak ada komentar: