DIKSI PEMIMPIN DALAM ISLAM (2)
Oleh. Prof. Dr. Akhmad Mujahidin
(Guru Besar Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Suska Riau)
Segaimana telah dijelaskan pada bagian pertama, bahwa seorang pemimpin harus memiliki karakter dalam epemimpinannya supaya semua programdan janji-janjinya dapat dilaksanakan dengan baik.
Dan karakter yang harus dimiliki dalam sebuah kepemimpinan adalah:
Pertama, Shiddiq (jujur). Seorang pemimpin wajib berlaku jujur dalam melaksanakan tugasnya. Jujur dalam arti luas. Tidak berbohong, tidak menipu, tidak mengada-ngada fakta, tidak bekhianat, serta tidak pernah ingkar janji dan lain sebagainya. Mengapa harus jujur? Karena berbagai tindakan tidak jujur selain merupakan perbuatan yang jelas-jelas berdosa, jika biasa dilakukan, juga akan mewarnai dan berpengaruh negatif kepada kehidupan pribadi dan keluarga pemimpin itu sendiri. Bahkan lebih jauh lagi, sikap dan tindakan yang seperti itu akan mewarnai dan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat.
Keharusan bersikap jujur dalam memimpin, sudah diterangkan dengan sangat jelas dan tegas yang antara lain kejujuran tersebut. Firman Allah SWT: Sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. (QS Al An’aam’;6:152).
Ayat di atas mengindikasikan bahwa; sesungguhnya Allah SWT telah menganjurkan kepada seluruh umat manusia pada umumnya, dan kepada para pedagang khususnya untuk berlaku jujur dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangannya. Penyimpangan dalam menimbang, menakar dan mengukur yang merupakan wujud kecurangan dalam perdagangan, sekalipun tidak begitu nampak kerugian dan kerusakan yang diakibatkannya pada manusia ketimbang tindak kejahatan yang lebih besar lagi seperti; perampokan, perampasan, pencurian, korupsi, manipulasi, pemalsuan dan yang lainnya, nyatanya tetap diharamkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Mengapa? Karena kebiasaan melakukan kecurangan menimbang, menakar dan mengukur dalam dunia perdagangan, akan menjadi cikal bakal dari bentuk kejahatan lain yang jauh lebih besar.
Perilaku dan tindakan seperti penampokan, pencurian, pemerasan, perampasan, sudah jelas merupakan tindakan memakan harta orang lain dengan cara batil, yang dilakukan dengan jalan terang-terangan. Akan tetapi karakter penyimpangan dan atau kecurangan dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan, merupakan kejahatan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sehingga para pemimpin yang melakukan kecurangan tersebut, pada hakikatnya adalah pencuri, perampok dan perampas dan atau penjahat, hanya mereka bersembunyi di balik lambang keadilan yakni, timbangan, takaran dan ukuran yang mereka gunakan dalam perdagangan.
Lalu apa bedanya? Mereka sama-sama penjahat. Maka alangkah kejinya tindakan mereka itu. Sehingga wajar, jika Allah dan Rasul-Nya mengharamkan perbuatan tersebut, dan wajar pula jika para pelakunya diancam Allah SWT dengan adzab dan siksa yang pedih di akhirat kelak. Firman Allah SWT: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang ini menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan Semesta Alam ini.” (QS Al Muthaffifiin;83:1-6)
Tidak hanya itu ancaman adzab dan siksa di akhirat kelak, bagi orang-orang yang melakukan berbagai bentuk penyimpangan dan kecurangan dalam menakar, menimbang dan mengukur barang dagangan mereka, sesungguhnya Alquran juga telah menuturkan dengan jelas dan tegas kisah onang-orang Madyan yang terpaksa harus menerima siksa dunia dari Allah SWT lantaran menolak peringatan dari Nabi mereka Syuaib as. “Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka Syuaib. Ia berkata:”Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”. (QS Al A’raaf;7:85)
dalam Firman AllahSWT ini, hendaknya menjadi peringatan bagi kita, bahwa ternyata perbuatan curang dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan, sama sekali tidak memberikan keuntungan, kehahagiaan bagi para pelakunya, bahkan hanya menimbulkan murka Allah SWT
.
Kedua, Amanah (tanggung jawab). Setiap pemimpin harus bertanggung jawab atas usaha dan pekerjaan dan atau jabatan yang telah dipilihnya tersebut. Tanggung jawab artinya, mau dan mampu menjaga amanah (kepercayaan) masyarakat yang memang secara otomatis terbeban di pundaknya. Karena setiap pekerjaan manusia adalah mulia. Pemimpin merupakan suatu tugas mulia, karena tugasnya memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat akan barang dan atau jasa untuk kepentingan hidup dan kehidupannya (hajad hidup orang banyak)
Ketiga, tidak menipu. Pemimpin hendaknya menghindari penipuan, sumpah palsu, janji palsu, keserakahan, perselisihan dan keburukan tingkah laku manusia lainnya. Setiap sumpah yang keluar dari mulut manusia harus dengan nama Allah SWT.
Jika sudah dengan nama Allah, SWT maka harus benar dan jujur. Jika tidak henar, maka akibatnya sangatlah fatal. Oleh sehab itu, Rasulululah SAW selalu memperingatkan kepada para pemimpin untuk tidak mengobral janji atau berpromosi secara berlebihan yang cenderung mengada-ngada, semata-mata agar terpilih, karenanya seorang pedagang berani bersumpah palsu, akibat yang akan menimpa dirinya hanyalah kerugian.
Mestinya berkaca pada apa yang kita alami selama ini, proses demokrasi untuk mengahasilkan pemimpin dinodai dengan pelanggaran etika, bahkan nyaris, setiap orang calon pemimpin maupun pemilih– tidak mampu lagi membedakan barang yang halal dan yang haram, di mana keadaan ini sesungguhnya sudah disinyalir akan terjadi oleh Rasulullah SAW, sebagaimana dinyatakan dalam hadisnya. Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: “Akan datang pada manusia suatu zaman yang seseorang tidak memperhatikan apakah yang diambilnya itu dan barang yang halal atau haram.” (HR Bukhari)
Mengapa hal semacam ini terjadi? padahal Rasulullah SAW tidak hanya sekali memberi peringatan kepada para pemimpin untuk berbuat jujur, tidak menipu dan tidak merugikan orang lain (rakyatnya)
Keempat, menepati janji. Seorang pemimpin juga dituntut untuk selalu menepati janjinya, baik kepada rakyatnya terlebih lagi menepati janjinya kepada Allah SWT. misalnya yang harus ditepati oleh para pemimpin Muslim misalnya adalah shalatnya. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Alquran: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyaknya supaya kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadaNya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah sebaik-baik pemberi rezki” (QS Al Jumu’ah;62:10-11)
Inilah renungan yang harus menjadi perhatian utama bagi seorang pemimpin muslim, apapun alasanya harus memehuni janjinya, sesibuk-sibuknya pemerintahan yang sedang ditangani, sebagai pemimpin muslim, janganlah pernah sekali-kali meninggalkan shalat. Selagi Allah SWT masih memberi kesempatan yang sangat luas kepada kita untuk mencari dan mendapatkan rejeki setelah shalat, yakni yang tercermin melalui perintah-Nya; bertebaran di muka bumi dengan mengingat Allah SWT banyak- banyak supaya beruntung.
Kelima, murah hati dan suka memaafkan. Dalam suatu hadis, Rasulullah SAW menganjurkan agar para pemimpin selalu bermurah hati dalam melaksanakan pemerintahannya. Murah hati dalam pengertian; ramah tamah, sopan santun, murah senyum, suka mengalah, namun tetap penuh tanggungjawab. Sabda Rasulullah SAW: “Allah berbelas kasih kepada orang yang murah hati ketika ia menjual, bila membeli dan atau ketika menuntut hak”. (HR Bukhari)
Keenam, tidak melupakan akhirat. Kepemimpinan adalah perdagangan dunia, sedangkan melaksanakan kewajiban Syari’at Islam adalah perdagangan akhirat. Keuntungan akhirat pasti lebih utama ketimbang keuntungan dunia. Maka para pemimpin muslim sekali-kali tidak boleh terlalu menyibukkan dirinya semata-mata untuk mencari keuntungan materi dengan meninggalkan keuntungan akhirat. Sehingga jika datang waktu shalat, mereka wajib melaksanakannya sebelum habis waktunya. Alangkah baiknya, jika mereka bergegas bersama-sama melaksanakan shalat berjamaah, ketika adzan telah dikumandangkan, dan sangat utama dalam menebar manfaat yaitu dicetuskan dalam sebuah keijakan untuk rakyatnya.
Demikian juga dengan pelaksanaan kewajiban memenuhi rukun Islam yang lain. Sekali-kali seorang pemimpin muslim hendaknya tidak melalaikan kewajiban agamanya dengan alasan kesibukan pemerintahan.
Khatimah
Sebagai penutup pembahasan ini, seorang pemimpin hendaknya selalu berupaya menyempurnakan dan memprluas keilmuan, berani mengambil risiko dan mampu mengambil ibrah dari keberhasilan serta kegagalan para pemimpin terdahulu. Jadilah pemimpin yang berangkat atas dasar keilmuan dan ketaqwaan bukan atas dasar nafsu dan keserakahan semata.
Dan tidakkalah pentingnya dalam persoalan kepemimpinan ini adalah ketundukan dan kepatuhan rakyat terhadap pemimpinya, karena sejelek apapun seorang pemimpin tetap menjadi penanggungjawab bagi rakyatnya secara keseluruhan dan sebaik apapun seorang rakyat, ia tetap tidak akan menanggung kesalahan yang diperbuat oleh pemimpinnya. Dari sinilah maka akan muncul sebuah kerjasama yang baik antara pemimpin dan rakyatnya di sebuah negeri yang dihuninya, sehingga mendatangkan keberkahan dan menjadi negeri yang gemah ripah loh jenawi, tenteram, makmur, aman dan nyaman. Wallahu a’lam bish-shawab!

Tidak ada komentar: