SEJARAH TEOLOGI AL-MA’UN DAN AL-‘ASHRI (refleksi milad ke 111-1912-2023)

 SEJARAH TEOLOGI AL-MA’UN DAN AL-‘ASHRI
(refleksi milad ke 111-1912-2023)
Oleh. Sri Rokhimi
(Mahasiswi IAIN Syekh Nurjati Cirebon)

 


PROLOG

Muhammadiyah merupakan Organisasi keagmaaan yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan ketika umat Islam dan masyarakat Indonesia berada dalam keadaan terhimpit, dimana Islam-hampir di seluruh dunia berada di bawah belenggu cengkraman penjajah dan kebekuan pemikiran keagamaan hingga mudah dijumpai keadaan umat Islam di sana-sini seperti kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Muhammadiyah merupakan gerakan pembaruan yang bergerak dalam bidang sosial keagamaan. Berdasarkan hal tersebut KH. Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah telah berjuang untuk membebaskan masyarakat dari keadaan dan kondisi tersebut dengan menjalankan Muhammadiyah menggunakan konsep teologi al-Ma’un. Memasuki abad kedua Muhammadiyah, konsep teologi al-Ma’un tidak kuasa lagi menghadapi perubahan zaman yang modern ini, oleh karena itu pemaknaan ulang diperlukan dan butuh konsep baru yang dapat membantu konsep teologi al-Ma’un dan bantuan konsep baru yang digagasnya, yaitu konsep teologi al-‘Ashr. Kedua konsep teologi tersebut terbentuk berdasarkan latar belakang pendidikannya ketika beliau pergi haji ke Mekkah, dan kondisi masyarakat Indonesia. Implementasi konsep teologi al-Ma’un pada masa KH. Ahmad Dahlan seringkali diterjemahkan melalui tiga pilar kerja yaitu healing (pelayanan kesehatan), schooling (pendidikan), dan feeding (pelayanan sosial). Konsep teologi al-Ma’un dan al-’Ashr, agar maksud dan tujuan berdirinya Muhammadiyah tetap terjaga meskipun banyaknya tantangan yang harus dihadapi pada era ini dan yang akan datang, terutama terkait program bidang pemberdayaan anggota dan kader, program bidang tarjih, tajdid, dan rogram dakwah sebagai investasi amal shaleh.

 

Memahami Konsep Teologi al-Ma’un

Konsep teologi Al-Ma’un merupakan hasil pemikiran KH. Ahmad Dahlan yang terinspirasi dari surah al-Ma’un, surah ke-107 dari al-Qur’an dan masuk ke dalam surah-surah Makkiyah menurut beberapa riwayat, dan menurut beberapa riwayat yang lain adalah surah Makkiyah dan Madaniah (yaitu tiga ayat pertama adalah Makkiyah sedang sisanya adalah Madaniah), dan pendapat terakhirlah yang lebih kuat. Konsep teologial-Ma’un yang dicetuskan oleh KH. Ahmad Dahlan memiliki kesamaan kondisi sosial Indonesia ketika al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad saw. yaitu ketika betapa lebar dan tajamnya kesenjangan sosial-ekonomi di Mekkah. Dalam surah al-Ma’un, seseorang yang tidak peduli terhadap nasib anak yatim dan orang miskin dikategorikan sebagai pendusta agama sekalipun dia shalat.(2)

Pesan surah al-Ma’un yang diajarkan oleh KH. Ahmad Dahlan tersebut diajarkan oleh KH. Ahmad Dahlan pada setiap pengajian rutin subuh, yang mana beliau mengajarkan tafsir surah al-Ma’un berulang-ulang selama beberapa hari. Salah seorang murid dan peserta pengajian yang bernama Sudjak, lalu bertanya kepadanya, mengapa bahan pengajian tidak ditambah-tambah dan hanya mengulang-ulang surah tersebut. Mendengar pertanyaan itu KH. Ahmad Dahlan balik bertanya kepada para muridnya, apakah mereka sudah benar-benar mengerti akan maksud surah al-Ma’un, para murid serentak menjawab bahwa mereka bukan hanya mengerti, tapi sudah hafal. KH. Ahmad Dahlan lalu bertanya, apakah arti ayat-ayat yang sudah dihafal tersebut sudah pula diamalkan.

Para murid pengajian itu menjawab dengan mengajukan pertanyaan: “Apanya yang diamalkan, bukankah surah al-Ma’un sudah seringkali dibaca saat menjalankan shalat?” KH. Ahmad Dahlan menjawab bahwa bukan itu yang ia maksud diamalkan, tetapi apa yang sudah dipahami itu dipraktikkan dan dikerjakan. Kemudia KH. Ahmad Dahlan memerintahkan para muridnya untuk mencari orang miskin dan anak yatim di sekitar tempat tinggal masing-masing,  jika sudah menemukan, mereka harus membawa orang miskin dan anak yatim itu ke rumah masing-masing, dimandikan dengan sabun dan sikat gigi yang baik, dan diberi pakaian seperti yang biasa mereka pakai. Orang miskin itu juga diberi makan dan minum serta tempat tidur yang layak. Pengajian pagi itu kemudian ditutup dan KH. Ahmad Dahlan memerintahkan agar para murid melakukan apa yang sudah dijelaskan kepada mereka.(3)

Pesan yang disampaikan oleh KH. Ahmad Dahlan yang sangat getol mengajak murid-muridnya mengamalkan surah al-Ma’un itu, perjuangan beliau untuk menyampaikan arti surah al-Ma’un juga yang dijadikan sebagai salah satu langkah teori untuk memperdalam amalan-amalan yang telah diperbuat oleh Muhammadiyah untuk merubah keadaan masyaraka pada saat itu.

KH. Ahmad Dahlan mengajarkan surah al-Ma’un ini kepada murid-muridnya secara terus menerus selama tiga bulan hingga muridnya mengerti apa yang dimaksud dari surah ini, yaitu melakukan tindakan sosial praksis. Metode pembelajaran KH. Ahmad Dahlan dalam memahami surah ini adalah metode pembelajaran amaliyah, dengan menekankan semboyan kepada murid-muridnya, “sedikit bicara banyak bekerja”. Menurut salah seorang muridnya, Haji Bajuri, apapun yang diajarkan oleh KH. Ahmad Dahlan itu hanya biasa-biasa saja, bedanya adalah bahwa setelah memperoleh pelajaran dari kyainya, maka para murid diharuskan memberikan sesuatu kepada orang lain apa yang pernah diajarkan olehnya. Salah satunya yan terkenal adalah pembelajaran surah al-Ma’un ini, beliau mengajarkan implementasi dari surah al-Ma’un yang berisikan tentang ajaran berbuat baik dan beramal kepada orang-orang yang kekurangan: tahukah anda apa yang dimaksud surah al-Ma’un? Beras, pakaian yang masih bagus, nanti kita bagikan kepada mereka yang memerlukan dan fakir muskin (4)

 

Memahami Konsep Teologi al-‘Ashr

Konsep teologi al-’Ashr KH. Ahmad Dahlan mulai ramai diperbincangkan setelah perjuangan organisasi Muhammadiyah memasuki abad ke-2, namun sebenarnya konsep ini muncul jauh sebelum organisasi ini terbentuk. Konsep ini hadir sebagai pendukung bagi konsep teologi al-Ma’un menghadapi perubahan zaman. Konsep teologi ini adalah pemikiran KH. Ahmad Dahlan tentang surah al-’Ashr, yaitu surah ke 103 yang terdiri dari 3 ayat dan diturunkan di Mekkah, sehingga surah ini disebut surah Makkiyah.

Surah Al-’Ashr diajarkan atas permintaan Nyai Walidah (5), Kiai Dahlan mengajarkan surah al-’Ashr kepada para buruh perempuan di Kauman. Pengajiannya dinamakan pengajian wal-’Ashri. Dalam pengajian ini, surah al-’Ashr diajarkan sekitar 8 bulan, karena Kiai Dahlan suka mengulang-ulang ketika mengajarkan surah al-’Ashr ini orang-orang Pekalongan (dulu) memberi julukan Kiai Dahlan dengan julukan Kiai wal-’Ashri. Maksud Kiai Dahlan mengulang-ulang al-’Ashr adalah agar murid-muridnya terbiasa memiliki etos disiplin tepat waktu dan selalu mengisi waktu dengan perbuatan yang bermanfaat (amal shalih). Selain membentuk pengajian al-’Ashr, Kiai Dahlan juga mempelopori “Sekolah Kader al-’Ashr” yang dipimpin oleh KRH. Hadjid. Dokter Kery, seorang spesialis kandungan, sekarang tinggal di Sidoarjo, asal Merauke menjelaskan bahwa gurunya dulu SD Muhammadiyah selalu memulai pelajaran dengan bacaan al-’Ashr. Malik Fadjar juga menyatakan ketika sekolah di Standardschool (sekarang SD) Muhammadiyah Suronatan, setiap akan pulang, mereka tutup dengan membaca surah al-’Ashr.(6)

Menurut Sukriyanto AR, maksud Kiai Dahlan mengadakan pengajian al-’Ashr, sekolah kader al-’Ashr dan mengulang-ulang surah al-’Ashr adalah pertama, agar murid-muridnya memiliki kesadaran akan waktu, menggunakan waktu secara baik, efektif, dan efesien, serta selalu disiplin tepat waktu. Kedua, agar murid-muridnya memiliki kesadaran iman, memiliki iman yang kuat sehingga hidupnya merdeka dan terarah. Ketiga, agar murid-muridnya berlomba-lomba dalam kebaikan dengan mengisi waktu dengan amal salih. Keempat, agar murid-muridnya memiliki kepekaan sosial dan tanggung jawab yang tinggi, sehingga tidak melakukan pembiaran penyimpangan sosial, tetapi memiliki panggilan hati untuk bertausyiah tentang kebenaran dengan penuh kesabaran sikap intersubjektif-inklusif. Kelima, Kiai Dahlan mendirikan sekolah wal-’Ashri dipimpin oleh KRH Hadjid, murid termuda Kiai Dahlan berharap agar murid-muridnya suka mengisi waktu untuk belajar agar mereka menjadi pandai, visioner, berpikiran maju serta bekerja keras. Karena waktu selalu bergerak maju, berjalan kedepan, kalau tidak diisi dengan amal salih, kita akan kehilangan peluang. Keenam, agar murid-muridnya meninggalkan hal-hal yang tiada manfaat, tidak suka ngarasani (menggunjing) dan saling mencela. Akan tetapi, mengisi waktu dengan amal salih, yaitu amalan yang dilandasi dengan ilmu pengetahuan. Kiai Dahlan memberikan contoh dengan mengamalkan surah al-Ma’un.(7)

Surah al-’Ashr berisi mengenai peringatan Allah SWT tentang pentingnya waktu dan bagaimana seharusnya ia diisi, karena melihat manusia yang menjadikan seluruh aktivitasnya hanya berupa perlombaan menumpuk-numpuk harta serta menghabiskan waktunya hanya untuk maksud tersebut, sehingga mereka lalai akan tujuan utama dari kehidupannya di dunia ini.

 

Footnote

1.       Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di Bawah Naungan Al-Qur’an (Surah Al-Ma’aarij-An-Naas) Jilid 12, Jakarta; Gema Insani, 2001, hlm. 356.
2.       Ahmad Syafi’i Ma’arif , Mengukuhkan Teologi Al-Ma’un dalam Teori dan Praksis,disampaikan dalam pengajian P.P. Muhammadiyah, Yogyakarta, 7 ramadhan 1433 H/26 Juli 2012, hlm. 1.

3.       Leyan Mustapa, Pembaharuan Pendidikan Islam  Studi Atas Teologi Sosial Pemikiran KH. Ahmad Dahlan, jurnal pembaharuan pendidikan Islam (JPPI) Volume 1 No. 1 desember 2014 hal. 136-137

4.       Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, Bandung; Penerbit Angkasa, 2003, hlm. 327-328.
5.      Istri KH. Ahmad Dahlan yang sering dikenal Nyai Ahmad Dahlan
6.       Azaki Khoirudin, Teologi al-’Ashr Etos dan Ajaran K.H.A. Dahlan yang Terlupakan, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2015,  hlm. 2-3.
7.      Azaki Khoirudin, Teologi al-’Ashr Etos dan Ajaran K.H.A. Dahlan yang Terlupakan, hlm. 28-29


SEJARAH TEOLOGI AL-MA’UN DAN AL-‘ASHRI (refleksi milad ke 111-1912-2023) SEJARAH TEOLOGI AL-MA’UN DAN AL-‘ASHRI (refleksi milad ke 111-1912-2023) Reviewed by sangpencerah on November 14, 2023 Rating: 5

Tidak ada komentar: