Firman Allah SWT;
“....Jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(sunahnya).....” (QS.
An-Nisa’;4:59)
Ayat megajarkan kepada
kita semua orang yang beriman yang mengalami perbedaan pandangan dalam urusan
dunia, maka dikemblikan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Terindikasi adanya Dualisme
kepemimpinan atau dikenal eksistensi dua kubu dalam kekuasaan Organisasi
Kemasyarakatan (Ormas) yang secara umum kondisi semacam ini dapat
menimbulkan bahaya serius terhadap stabilitas
internal organisasi dan ketertiban umum. Konflik sejenis ini bisa juga menjadi meningkat pada tahap bulliying non verbal dan mengganggu tatanan pola
pikir kehidupan
masyarakat. Utamanya dalam membangun komunikasi dan peradaban,
mislanya;
Gesekan Orientasi: mislanya
Perpecahan
internal atau persaingan antar-ormas yang dipicu oleh perebutan pengaruh dan
sumber daya ekonomi (seperti menggalang
kelompok komunitas, atau pengamanan bisnis) yang
mengantarkan pada ketegangan situasi dan kondisi saat bersama dalam wadah
organisasi.
Embrio oknum Ormas: Dualisme
kepemimpinan sering kali dieksploitasi oleh oknum anggota ormas (yang sebagian
mungkin merupakan preman) untuk berlindung di balik atribut organisasi demi
keuntungan pribadi, seperti pemalakan atau intimidasi, yang semakin meresahkan
masyarakat.
Melemahkan Persimpangan
Hukum: Tindakan kurang etis dalam ormas mempersulit
penegakan hukum dan menimbulkan tantangan bagi aparat keamanan dalam menjaga
ketertiban, bahkan bisa berujung pada penyerangan terhadap petugas atau
fasilitas polisi dls.
Seperti banyak pengalaman membuktikan bahwa
dalam hubungannya dengan internal ormas akan terjadi hal-hal sebagai berikut;2
Ketidakpastian dan Kebingungan: Adanya
dua kubu yang saling mengklaim legitimasi menyebabkan kebingungan di kalangan
anggota dan pihak eksternal (misalnya, pemerintah atau mitra kerja) mengenai
siapa pemimpin yang sah dan harus dipercaya dan diikuti.
Kelumpuhan Organisasi: Komunikasi dan kerja sama internal
terhambat, mengganggu aktivitas dan tujuan organisasi yang seharusnya mengabdi
pada kepentingan umum dan kemashlahatan umat.
Suramnya Fokus: Energi
organisasi terkuras energinya hanya untuk melayani konflik internal, jangankan menjalankan visi dan misi
sosialnya, melayani kepentingan umat akan berantakan, pada
akhirnya merugikan citra dan kepercayaan publik terhadap ormas tersebut.
Polarisasi Anggota: Perbedaan pandangan politik atau
perebutan sumber daya dapat menyebabkan polarisasi yang tajam di tingkat ujung daun dan menghujam diakar rumput, pada akhirnya membuat perpecahan semakin sulit
untuk diselesaikan.
Dalam rangka memperingati Milad ke-113 tahun,
Muhammadiyah kembali menguji komitmen dirinya sendiri di hadapan cermin
sejarah. Sebagai entitas Islam modern yang selalu menjaga jarak dengan
kekuasaan politik, sikap independen ini adalah mata air bagi rasionalitas
kritis yang memungkinkannya berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang moral bagi
negara. Namun, memasuki usia lebih dari satu abad ini, dan khususnya di era
Presiden ke 7, Joko Widodo, benturan antara idealisme historis dan realitas
politik praktis telah memunculkan dua kutub yang berlawanan orientasi bahkan
terang benderang di kalangan elite persyarikatan.
Dua sosok yang sama-sama berada dalam posisi pejabat negara dan
pimpinan organisasi yaitu Muhadjir Effendy dan
Busyro Muqoddas, keduanya mewakili dan merupakan dua respons yang kontradiktif terhadap godaan dan tawaran tentang aset
negara, dan ini adalah potret dilema mendasar yang kini dan akan dihadapi
Muhammadiyah di abad kedua: akomodatif versus kritisisme.
Kutub Pertama: Pragmatisme Akseleratif
(Muhadjir Effendy)
Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.Ap
seorang kader tulen dan akademisi, telah menjadi arketipe elite Muhammadiyah
yang lentur dan adaptif terhadap kekuasaan. Terbilang Sejak menjabat
sebagai menteri di Kabinet Kerja hingga sebagai Menko PMK, telah berfungsi
sebagai jembatan komunikasi yang efektif antara rezim dan persyarikatan.
Peran Muhadjir mencerminkan pandangan bahwa
negosiasi dan kedekatan dengan negara adalah jalan untuk mengamankan
kepentingan dan posisi. Kedekatan ini dibuktikan dalam dua fenomena kunci:
1. Kasus Konsesi Tambang: Ketika negara
menawarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada organisasi keagamaan, Muhadjir
sebagai Menko PMK berada di jantung kebijakan tersebut, meski posisinya secara
teknis di kabinet tidak berhubungan langsung dengan urusan
IUP. Terlepas dari respons kehati-hatian Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, posisi beliau di kabinet membuatnya menjadi representatif internal minimal
dengan skema "bagi hasil" kekuasaan ini, sehingga kiprah Muhammadiyah semakin dipercaya oleh
negara .
2. Peran dalam Isu Gibran Keterlibatannya saat
menjabat Menteri Pendidikan dalam penerbitan surat keterangan penyetaraan
sekolah calon Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang belakangan ini jadi trending dan dipersoalkan, dengan menyoroti betapa generasi ini terlihat
lebih nyaman bernegosiasi dengan lingkaran inti kekuasaan daripada menjaga
jarak dari isu-isu yang berpotensi mencederai etika politik.
Muhadjir mewakili wajah pragmatis
Muhammadiyah sebuah strategi politik yang melihat negara sebagai mitra
strategis yang harus dimanfaatkan, bukan sekadar objek kritik moral, yang akan menyulitkan gerakannya dan tidak
dianggap tindakannya. Karenanya dalam rangka mengembangkan sayap gerakan
dakwahnya, maka harus ikut andil dan ambil bagian dari kebijakan pemerintah.
Kutub Kedua: Konsistensi Kritis (Busyro
Muqoddas)
Di sisi lain spectrum tokoh, berdiri Dr.
Busyro Muqoddas, juga salah satu Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yang
memilih untuk tetap kritis dan menjaga jarak tegas dari kekuasaan. Sosok Busyro
adalah antitesis sempurna dari pragmatisme politik yang diusung oleh Muhadjir. Beliau memiliki paradigma berbeda, dan ingin
berkolaborasi diantara dua kepentingan, dan tetap konsisten dengan pandangan
dan orientasi organisasi.
Busyro mewakili wajah
kritis yang berpegang teguh pada khittah awal berdirinya Muhammadiyah sebagai
penunjuk arah bangsa. Konsistensi sikap ini terlihat nyata dalam beberapa
keadaan, misalnya;:
1. Kepemimpinan di KPK:
Posisinya sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dimana beliau
dikenal sebagai sosok yang tegas dan tidak kompromi dengan intervensi politik.
Penolakan terhadap politik akomodatif terlihat jelas dari rekam jejaknya yang tidak
kenal takut dan kwatir membongkar kasus-kasus besar, membuktikan bahwa kader
Muhammadiyah mampu menjalankan tugas negara tanpa tunduk pada kepentingan rezim
di atasnya. Konsistensi inilah yang seharusnya menjadi bahan pertimbangan bagi
organisasi Muhammadiyah di masa yang akan datang, supaya keberadaannya tetap
ligitimasi oleh pemerintah dan masyarakat luas.
2. Pembelaan Rakyat
Melawan Pengembang
Posisi yang diambil oleh
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PP Muhammadiyah yang merupakan bagian dari Lembaga
Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP). Pimpinan gaya Busyro Muqoddas, dalam
kasus sengketa pagar laut di pantai utara Banten melawan pengembang megaproyek
(seperti PIK 2), adalah bukti nyata dalam keberpihakan beliau kepada rakyat. Dengan
membela hak-hak rakyat kecil secara langsung melawan korporasi besar yang
disokong oleh rezim, Majelis ini
menunjukkan bahwa kekuatan moral persyarikatan harus selalu berpihak kepada
keadilan sosial dan rakyat, bukan kepada elite kekuasaan atau pemodal.
Sebagaimana amanah isi pancasila sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Busyro memilih jalur perlawanan moral dan
penjagaan integritas, menjadikan Muhammadiyah sebagai payung hukum rakyat dan
pengawas moral negara.
Posisi Muhammadiyah?
Pandangan Kontras antara Muhadjir Effendy
(Pragmatisme Politik) dan Busyro Muqoddas (Konsistensi Kritis) menunjukkan
adanya ketegangan ideologis di tubuh elite Muhammadiyah saat ini bahkan bisa memanjang ke masa depan.
Momentum berharga ini tepatnya Milad
ke-113 tahun 2025 Muhammadiyah berdiri di persimpangan jalan dalam koteks pembelaan, pelayanan dan perlindungan
masyarakat:
* Apakah ia akan mengambil jalan yang lebih
mudah, mengakomodasi kepentingan negara demi akses dan fasilitas (seperti yang
dicontohkan Prof. Muhadjir)?
* Atau, memilih jalan yang lebih sulit,
mempertahankan jarak kritis dan independensi moral sebagai civil society yang
berpihak pada keadilan (seperti yang dicontohkan bapak Busyro)?
Pilihan ini akan menentukan bukan hanya nasib
kader, tetapi juga masa depan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern yang
pernah menjadi mercusuar gerakan pencerahan di Indonesia.
Secara keseluruhan, perpecahan dalam kekuasaan ormas
menciptakan ketidakstabilan yang berdampak negatif signifikan, tidak hanya bagi
anggotanya, tetapi juga bagi keamanan, ketertiban, dan iklim investasi di
lingkungan sekitarnya
Solusinya:
Penyelesaian dualisme kepemimpinan memerlukan pendekatan
komprehensif, mulai dari internal hingga intervensi pihak luar:
Mekanisme Penyelesaian Internal Organisasi:
Kembali kepada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)
ormas adalah langkah fundamental. AD/ART harus memuat mekanisme penyelesaian
konflik yang jelas dan mengikat.
Musyawarah dan Mediasi Internal: Mendorong dialog, diskusi,
dan musyawarah mufakat untuk menemukan akar permasalahan dan mencapai solusi
damai yang mengutamakan kesejahteraan bersama
sesuai tema besar milad ke 113 memajukan kesejahteraan bangsa.
Menciptakan budaya organisasi yang terbuka terhadap kritik dan
saran, serta memastikan transparansi dalam pengambilan keputusan untuk
menghindari saling curiga dan salah paham. Memiliki sifat kepemimpinan yang adil, berintegritas, dan
mampu membangun komunikasi yang efektif di antara anggota dapat membantu
mengelola dan menyelesaikan konflik secara internal yang berdampak pada
masyarakat luas, saling mengontrol egoisme diri dalam berorganisasi.
Selamat dan
Sukses Milad ke 113 Muhammadiyah-2025
Reviewed by sangpencerah
on
Desember 05, 2025
Rating:





Tidak ada komentar: