Puasa Arafah, tidak bertepatan dengan wuqufnya jama’ah haji ?
Tim
Fatwa MTT PPM
Permasalahan ini
sering terjadi bagi kaum muslimin di Indonesia, penjelasan dalam masalah ini
agak sedikit panjang, karena ada aspek yang menyangkut ijtihad, di mana
sama-sama kita ketahui bahwa “ijtihad itu tidak gugur oleh ijtihad”. Di samping
itu, ijtihad sekalipun tidak tepat (benar), tapi mendapat satu pahala bagi
orang yang berijtihad, begitu juga yang mengikutinya.
Kalau kita
merujuk kepada Sunnah, Nabi SAW menyuruh kita yang tidak sedang melakukan
ibadah haji, sunat berpuasa pada hari wuquf, seperti disebutkan dalam hadits
berikut:
“Puasa Arafah
dapat menutup (menghapus dosa) setahun yang lalu dan setahun yang akan dating.”
[HR.
al-Jama’ah]
Menurut bunyi
hadits tersebut, kita harus berpuasa pada waktu para hujjaj sedang wuquf di
Arafah, bukan pada hari sesudah wuquf.
Hal ini tidak
ada kesulitan jika kita mempergunakan “mathla’ Makkah” dalam penetapan 1
Ramadhan, 1 Syawwal dan 1 Dzulhijjah. Tetapi, Lembaga Isbat Departemen Agama,
begitu juga ormas-ormas Islam yang berpengaruh di Indonesia, memakai mathla’
wilayah Indonesia, bukan mathla’ Makkah. Selama ijtihad kita masih seperti itu,
maka ada kemungkinan, kadang-kadang kita berpuasa Arafah tidak tepa pada hari
wuquf. Padahal sekarang ini, untuk mengetahui kapan para hujjaj wuquf sangat
mudah; dua atau tiga hari sebelum wuquf, Mufti Kerajaan Arab Saudi sudah
mengumumkan dan disiarkan ole media cetak dan elektronik ke seluruh dunia. Di
Indonesia, baru Al-Irsyad, Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), dan Hizbut
Tahrir yang sudah menggunakan mathla’ Makkah khusus dalam menentukan Hari Raya
Haji, bahkan juga untuk Hari Raya Idul Fitri.
Hari Raya Jatuh Pada Hari Jum'at?
Terkait dgn hari
raya bertepatan dengan hari Jum'at.
Ada beberapa
hadits yang menerangkan adanya keringanan untuk tidak melakukan shalat Jum’at
bagi orang yang pada pagi harinya sudah melaksanakan shalat id. Tetapi
hadits-hadits tersebut ada yang dinilai lemah, karena ada perawinya yang tidak
dikenal, yaitu hadits riwayat Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah dari Ilyas bin Abi
Ramlah. Ada juga yang dinilai sebagai hadits mursal, yaitu hadits riwayat Abu
Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah. Disamping itu, ada juga hadits yang
dinilai sahih, yaitu hadits yang diriwayatkan An-Nasai dan Abu Dawud. hadits
tersebut sebagai berikut:
“Hadits
diriwayatkan dari Wahab bin Kaisan, ia berkata: Telah bertepatan dua hari raya
(Jum’at dan hari raya) di masa Ibnu Zubair, dia berlambat-lambat ke luar,
sehingga matahari meninggi. Di ketika matahari telah tinggi, dia pergi keluar
mushala lalu berkhutbah, kemudian turun dari mimbar lalu shalat. Dan dia tidak
shalat untuk orang ramai pada hari Jum’at itu (dia tidak mengadakan shalat
Jum’at lagi). Saya terangkan yang demikian ini kepada Ibnu Abbas. Ibnu Abbas
berkata: Perbuatannya itu sesuai dengan sunnah”. (HR. an-Nasai dan Abu Dawud).
Hadits lainnya
adalah yang menerangkan bacaan shalat Nabi SAW ketika hari raya jatuh pada hari
Jum’at, yaitu sebagai berikut:
“Diriwayatkan
dari Nu’man nim Basyir ra, ia berkata: Nabi SAW selalu membaca pada shalat
kedua hari raya dan shalat Jum’at: Sabbihisma rabbikal a’la dan hal ataka
hadisul ghasyiyah. Apabila berkumpul hari raya dan Jum’at pada suatu hari, Nabi
SAW membaca surat-surat itu di kedua-dua shalat“. (HR. al-Jamaah kecuali al-Bukhari dan Ibnu
Majah).
Menurut Majelis
Tarjih, memahami riwayat yang pertama timbul kesan bahwa apabila hari raya
jatuh pada hari Jum’at, Shalat Jum’at tidak perlu dilakukan. Pemahaman yang
demikian adalah belum selesai, mengingat adanya hadits yang kedua yang
diriwayatkan oleh segolongan ahli hadits termasuk Muslim, kecuali al-Bukhari
dan Ibnu Majah. Dari riwayat yang kedua melalui pemahaman isyaratun nas dapat
dipahami bahwa Nabi SAW pada hari raya tetap melakukan shalat Jum’at. Hal ini
dipahami dari riwayat kedua yang menyebutkan:
“Apabila hari
raya bertepatan dengan hari Jum’at, Nabi SAW membaca surat (Sabbihisma dan Hal
ataka) pada kedua shalat itu (shalat hari raya dan shalat Jum’at)“.
Dengan demikian
menjadi jelas, bahwa Nabi SAW melakukan shalat Jum’at sekalipun hari itu
brtepatan dengan hari raya. Adapun keringanan yang disebut pada riwayat yang
pertama adalah merupakan keringanan bagi orang yang sangat jauh dari kota untuk
menuju menuju tempat shalat hari raya dan shalat Jum’at di kala itu. Sehingga
apabila seseorang harus bolak-balik, yaitu pulang dari shalat Id lalu kembali
lagi untuk shalat Jum’at padahal jauh tempat tinggalnya, maka akan mengalami
kesukaran dan kepayahan.
Atas dasar ini
Majelis Tarjih menyimpulkan bahwa bila hari raya jatuh pada hari Jum’at, Nabi SAW
melaksanakan shalat Jum’at. Oleh karenanya, seluruh warga Muhammadiyah
hendaknya tetap melakukan shalat Jum’at pada hari raya di masjid-masjid yang
mudah dijangkau pada siang harinya setelah pada pagi harinya melaksanakan
shalat Id.

Tidak ada komentar: