يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلْقِسْطِ ۖ وَلَا
يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ ۚ ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ
ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ
QS. al Maidah, [5]: 8 :
"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. "
Setiap lima tahun sekali Indonesia
memiliki gawe besar, rakyat secara berdaulat menentukan siapa wakilnya
(DPR RI, DPRD dan DPD). Selain dari hal tersebut, selanjutnya rakyat dapat
menentukan siapa Pasangan Capres-Cawapres terbaik yang layak memimpin bangsa
dan negaranya selama lima tahun ke depan. Momen seperti hal tersebut bukanlah
hal baru, bahkan sudah menjadi rutinitas lima tahunan bagi bangsa dan negeri
ini. Namun demikian, faktanya momen tersebut selalu menjadi hal menarik dengan
berbagai dinamikanya. Tentu saja undang-undang telah mengatur sedemikian rupa
tentang proses penyelenggaraanya sampai dengan kriteria masing-masing
Paslonnya, -melalui UU No. 42 th. 2008 tentang Pilpres-wapres, UU No. 15 th.
2011 tentang Penyelenggara Pemilu, dan UU No. 8 th. 2012 tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD dan DPRD, dst. Momen ini menjadi menarik dan semakin hangat (bahkan
memanas) ketika munculnya berbagai dugaan disfungsional beberapa aturan main,
yang juga diduga karena adanya kekurangtegasan penyelenggara Pemilu. Diduga dari
sinilah persoalan muncul; saling serang, saling tackling untuk menutup
akses pengaruh, atau setidaknya perang urat saraf lewat platform media
sosial, lumayan seru.
Begitulah dunia perpolitikan,
pandangan umum yang selalu berkembang, “tidak ada kawan dan lawan sejati,
yang ada hanyalah kepentingan sejati.” Pandangan umum ini memberikan
gambaran tentang nihilnya nilai kehakikian di dalam percaturan politik. Hampir
menjadi pasti bahwa politik hanyalah urusan prgamatis kekuasaan dan jauh dari
konsistensi kebenaran. Atau dalam bahasa lain, istilah politik telah digeser
begitu jauh menuju rumitnya membangun kekuasaan, sehingga harus menghalalkan
segala macam cara, tak terkecuali praktik transaksional sekalipun. Atau dalam
ungkapan yang berbeda: “lebih baik minta maaf atas kesalahan, dari pada taat
patuh aturan tapi tidak memperoleh kekuasaan.” Pola seperti ini bukanlah
ketidaksengajaan, tetapi merupakan bagian cara-cara strategis dan terukur -dengan
tujuan memperoleh peruntungan elektoral, sehingga tidak mudah dijerat dengan
sanksi-sanksi tertentu. Jika praktik politik demokrasi seperti ini terus
terjadi, maka secara tidak langsung rakyat akan memberikan pemahaman yang ‘toleran,’
bahkan permissif (متساهل), sehingga abai terhadap berbagai bentuk penyimpangan.
Fenomena praktik tahapan pemilu yang seperti ini hanya akan mengikis habis nilai kebenaran dan keadilan dalam waktu jangka panjang. Pada akhirnya kebenaran teralianasi dan lepas dari akar tunggangnya (core value). Agama hanya menjadi simbol identitas, nilai kebenaran menjadi kerdil (miskin nilai), tidak mengakar ke dalam cara berpikir (akut), bersikap, bertindak, seakan hanya disetting oleh sekedar orientasi kekuasaan. Fenomena ini tidak mudah dihentikan, karena sudah terlanjur masuk ke dalam gelanggang politik kekuasaan. Sebagai perumpamaan, ibarat perseteruan fir’aun terhadap Nabi Musa, namrud terhadap Nabi Ibrahim, sehingga masing-masing sedang mempertahankan idealismenya. Akan tetapi, apapun bentuk perseteruan itu, kebenaran tidak akan pernah tertukar dengan kebatilan
وَقُلْ جَاۤءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۖاِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا..
.(Wa qul jā`al-ḥaqqu wa zahaqal-bāṭilu innal-bāṭila kāna zahụqā)
Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan
yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang
pasti lenyap (QS. Al Isra 81)
Tokoh-tokoh Muslim dari masa lalu
hingga sekarang sebenarnya telah banyak memberikan inspirasi bijak sebagai renungan
politik yang mencerminkan nilai-nilai Islami. Misalnya, Ali ibn Abi Thalib RA,
sahabat sekaligus menantu Rasulullah SAW, salah satu tokoh utama dan khalifah
berpengaruh dalam sejarah Islam, (periode th. 656-661M/th. 35-40H), banyak
mengemukakan ajaran tentang keadilan dan tugas kepemimpinan. Salah satunya, ia
mengatakan: "orang yang paling berhak atas kepercayaan rakyat adalah
yang paling benar perkataannya dan yang paling bersih hatinya." Ungkapan
ini memberikan isyarat bahwa calon pemimpin itu mampu mensinergikan bersihnya
hati dengan perkataanya yang benar. Niat tulusnya mampu menarasikan kebenaran sebagai
sikap awal dari tindakannya, -yang sarat dengan nilai-nilai keadilan dan
ketaqwaannya (QS. al Maidah, [5]: 8 ). Maka menurut Ali, orang yang
seperti inilah, yang “paling berhak atas kepercayaan rakyat”nya.
Tokoh lain selain Ali Ibn Abi
Tholib RA adalah Hassan al-Banna
(1906-1949M). Ia tampil sebagai pendiri Ikhwanul Muslimin, pemimpin gerakan
revolusioner dan reformis di dunia Muslim, sebuah organisasi yang menjadi salah
satu gerakan politik dan sosial Islam paling berpengaruh di abad ke-20. Kiprahnya
mencakup berbagai aspek, -memberikan pengaruh signifikan dalam mengembangkan
pemikiran politik Islam modern. Ia pernah mengatakan: "politik adalah
salah satu cara untuk beribadah kepada Allah." Ungkapan ini begitu
simpel, namun mampu penuh spirit, menghadirkan makna terdalam terutama hubungannya
dengan Allah SWT. Gerakan politiknya menghadirkan nilai spiritual tertinggi,
sehingga mampu menggerakkan massa yang begitu besar di zamannya. Kesadaran
berpolitiknya semata-mata untuk pengabdiannya kepada Allah SWT, sehingga tiada
lelah menarasikan keadilan dan kebenaran.
Tokoh lain selain kedua tokoh
sebelumnya, yakni Sheikh Yusuf al-Qaradawi: seorang ulama dan cendekiawan Islam
kontemporer (th. 1926-2022M), -yang memiliki pengaruh besar dalam berbagai aspek
kehidupan Muslim, termasuk dalam bidang politik. Meskipun dia dikenal sebagai
seorang ulama yang aktif memberikan fatwa dan pendapat hukum Islam melalui
program televisinya, Qaradawi juga memiliki pandangan politik yang cukup kuat.
Dalam bidang politik, Qaradawi
sering kali menekankan pentingnya demokrasi, partisipasi politik, dan hak asasi
manusia dalam kerangka Islam. Dia mendukung konsep "demokrasi Islam"
yang menekankan pada nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan keterlibatan rakyat
dalam proses politik. Menurut Qaradawi, Islam dan demokrasi dapat saling
mendukung dan memperkuat satu sama lain jika diimplementasikan dengan benar.
Beberapa pesan bijak Yusuf al-Qaradawi
tentang politik antara lain:
1. Demokrasi dan Islam: Qaradawi meyakni
bahwa Islam mendukung prinsip-prinsip demokrasi yang sesuai dengan nilai-nilai
keadilan, kemerdekaan, dan akuntabilitas. Baginya, demokrasi adalah cara
terbaik untuk mencapai keadilan sosial dan politik dalam masyarakat Muslim.
2. Partisipasi Politik: Qaradawi
mendorong umat Muslim untuk aktif dalam proses politik dan berpartisipasi dalam
pemilihan umum. Baginya, partisipasi politik adalah cara terbaik untuk
mempengaruhi perbaikan masyarakat dan
negara. Ia mengatakan: "demokrasi adalah cara terbaik untuk mencapai keadilan
sosial dan politik, tetapi harus selalu didasarkan pada prinsip-prinsip dan
nilai Islami.”
3. Hak Asasi Manusia: Sebagai seorang
ulama, Qaradawi menekankan pentingnya hak asasi manusia dalam kerangka hukum
Islam. Dia berpendapat bahwa semua individu memiliki hak-hak yang harus
dihormati dan dilindungi, termasuk hak untuk hidup, kebebasan berpendapat, dan
keadilan.
4. Pencegahan Konflik: Qaradawi juga
menekankan pentingnya dialog lintas agama (interfaith: الأديان) dan lintas golongan untuk mencegah konflik dan mempromosikan
perdamaian. Menurutnya, Islam mengajarkan toleransi, kerjasama, dan saling
pengertian antarumat beragama dan budaya.
Meskipun pandangan Yusuf al-Qaradawi dalam
bidang politik mendapat perhatian dan kontroversi di kalangan umat Muslim,
tidak dapat dipungkiri bahwa dia memiliki pengaruh signifikan dalam membentuk
pemikiran politik di dunia Islam kontemporer.
Bertolak dari fenomena praktik
politik yang menghalalkan segala macam cara sebagaimana disinggung di atas, Umar
ibn Khattab pernah mengatakan bahwa hal tersebut “bukanlah cerminan
kesejatian calon pemimpin. Ia tidak mampu berlaku adil.” Maka pemahaman sebaliknya,
ia hanyalah calon penguasa yang sedang berburu singgasana kekuasaan, menyelinap
masuk ke dalam ruang demokrasi memanfaatkan sisi lengah demokrasi untuk ambil
posisi. Imam Syafi'I juga pernah mengatakan, bahwa "pemimpin yang benar
adalah ia yang berlaku adil, menegakkan kebenaran, dan melindungi hak-hak
rakyatnya." – rakyat dalam kontek demokrasi adalah tuan rumah yang
berdaulat. Abraham Lincoln dalam pidatonya di Gettysburg, Pennsylvania, pada
tanggal 19 November 1863, sehingga dikenal sebagai "Pidato
Gettysburg", mengatakan, bahwa "... government of the people, by the
people, and for the people, will not disappear from the face of this earth." Dalam arti bahwa pemerintahan rakyat adalah bagian dari sunnatullah,
yang diyakini sebagai salah satu media yang menghantarkan rakyat pada rasa
keadilan dan kesetaraan, karena suara keadilan adalah seruan Tuhan (Allah SWT).
Oleh karena itu, sebagai penutup,
mengutip pernyataan Imam Ghazali:
إن الإمام الذي يختار
بطريقة صحيحة وعادلة سيكون رحمة لشعبه، ولكن إذا اختير بطريقة غير صحيحة، فسيكون
كارثة لهم
“..seorang pemimpin yang dipilih
dengan cara yang benar dan adil akan menjadi rahmat bagi rakyatnya, tetapi jika
dipilih dengan cara yang tidak benar, ia akan menjadi bencana bagi
mereka."

Tidak ada komentar: