Dambaan setiap
manusia untuk memiliki keturunan, karena dengan keturunan seseorang akan
mencapai kebahagiaan hidup. Kebahgiaan itu dapat terwujud jika anak yang diamanahkan
terawat/terdidik dengan baik secara fisik maupun psikis, karena itulah, maka
sangat beruntung orang tua yang bisa membesarkan sampai tumbuh dewasa, sehingga
menjadi seorang anak yang baik pula, atau yang dikenal dengan anak shalih, akan
tetapi jika sebaliknya yang terjadi, maka musnahlah dambaan dan harapan dalam
hidupnya.
Bahagia Dengan Anak Shalih
Beruntunglah dan berbahagialah orang tua
yang telah mendidik anak-anak mereka sehingga menjadi anak yang shalih, yang
selalu membantu orang tuanya, mendo’akan orang tuanya, membahagiakan mereka dan
menjaga nama baik kedua orang tua. Karena anak yang shalih akan senantiasa
menjadi investasi pahala, sehingga orang tua akan mendapat aliran pahala dari
anak shalih yang dimilikinya. Rasulullah SAW bersabda,
“Apabila
seorang telah meninggal dunia, maka seluruh amalnya terputus kecuali tiga,
yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang
mendo’akannya.” (HR.
Muslim:1631).
Degitu juga, kelak di hari kiamat,
seorang hamba akan terheran-heran, mengapa bisa dia meraih derajat yang tinggi
padahal dirinya merasa amalan yang dia lakukan dahulu di dunia tidaklah
seberapa, namun hal itu pun akhirnya diketahui bahwa derajat tinggi yang diperolehnya
tidak lain dikarenakan do’a ampunan yang dipanjatkan oleh sang anak untuk
dirinya. Rasulullah SAW bersabda,
“Sesunguhnya
Allah ta’ala akan mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di surga. Kemudian dia akan berkata, “Wahai Rabb-ku,
bagaimana hal ini bisa terjadi padaku? Maka Allah menjawab, “Hal itu
dikarenakan do’a yang dipanjatkan anakmu agar kesalahanmu diampuni.” (HR. Ahmad:10618. Hadits Hasan).
Oleh karenanya, saking urgennya pembinaan
dan pendidikan sang anak sehingga bisa menjadi anak yang shalih, Allah ta’ala langsung membebankan tanggung jawab ini
kepada kedua orang tua. Allah SWT berfirman
dalam sebuah ayat yang telah kita ketahui bersama,
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS At Tahrim;66:6).
Seorang tabi’in, Qatadah, ketika
menafsirkan ayat ini mengatakan,
“Yakni,
hendaklah engkau memerintahkan mereka untuk berbuat taat kepada Allah dan
melarang mereka dari berbuat durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau
menerapkan perintah Allah kepada mereka dan perintahkan dan bantulah mereka
untuk menjalankannya. Apabila engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada
Allah, maka peringatkan dan cegahlah mereka.” (Tafsir al-Quran al-’Azhim 4/502).
Demikian pula, Rasulullah SAW memikulkan tanggung jawab pendidikan anak ini
secara utuh kepada kedua orang tua. Dari Ibnu radhiallahu ‘anhu,
bahwa dia berkata, Rasulullah SAW bersabda,
“Setiap
kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai
pertanggunjawabannya dan demikian juga seorang pria adalah seorang pemimpin
bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari: 2278).
Abdullah bin Umar rama berkata, “Didiklah anakmu, karena sesungguhnya engkau
akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah
engkau berikan kepadanya. Dan dia juga akan ditanya mengenai kebaikan dirimu
kepadanya serta ketaatannya kepada dirimu.”(Tuhfah al Maudud hal. 123).
Tanggung
Jawab Orang Tua
Tanggung jawab pendidikan anak ini harus
ditangani langsung oleh kedua orang tua. Para pendidik yang mendidik anak di
sekolah–sekolah, hanyalah partner bagi orang tua dalam proses pendidikan anak.
Orang tua yang berusaha keras mendidik
anaknya dalam lingkungan ketaatan kepada Allah SWT , maka pendidikan yang
diberikannya tersebut merupakan pemberian yang berharga bagi sang anak, meski
terkadang hal itu jarang disadari. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
Al-Hakim, Nabi SAW bersabda,
“Tiada
suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain
pendidikan yang baik.” (HR.
Al Hakim:7679).
Mengenai tanggung jawab pendidikan anak
terdapat perkataan yang berharga dari imam Abu al-Hamid al-Ghazali rahimahullah. Beliau berkata, “perlu diketahui bahwa
metode untuk melatih/mendidik anak-anak termasuk urusan yang paling penting dan
harus mendapat prioritas yang lebih dari urusan yang lainnya. Anak merupakan
amanat di tangan kedua orang tuanya dan qalbunya yang masih bersih merupakan
permata yang sangat berharga dan murni yang belum dibentuk dan diukir. Dia
menerima apa pun yang diukirkan padanya dan menyerap apa pun yang ditanamkan
padanya. Jika dia dibiasakan dan dididik untuk melakukan kebaikan, niscaya dia
akan tumbuh menjadi baik dan menjadi orang yang bahagia di dunia dan akhirat.
Dan setiap orang yang mendidiknya, baik itu orang tua maupun para pendidiknya
yang lain akan turut memperoleh pahala sebagaimana sang anak memperoleh pahala
atas amalan kebaikan yang dilakukannya. Sebaliknya, jika dibiasakan dengan
keburukan serta ditelantarkan seperti hewan ternak, niscaya dia akan menjadi
orang yang celaka dan binasa serta dosa yang diperbuatnya turut ditanggung oleh
orang-orang yang berkewajiban mendidiknya” (Ihya Ulum al-Din 3/72).
Senada dengan ucapan al-Ghazali di atas
adalah perkataan al-Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah, “Siapa
saja yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang berguna baginya,
lalu dia membiarkan begitu saja, berarti dia telah berbuat kesalahan yang
fatal. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua mengabaikan
mereka, serta tidak mengajarkan berbagai kewajiban dan ajaran agama. Orang tua
yang menelantarkan anak-anaknya ketika mereka kecil telah membuat mereka tidak
berfaedah bagi diri sendiri dan bagi orang tua ketika mereka telah dewasa. Ada
orang tua yang mencela anaknya yang durjana, lalu anaknya berkata, “Ayah,
engkau durjana kepadaku ketika kecil, maka aku pun durjana kepadamu setelah aku
besar. Engkau menelantarkanku ketika kecil, maka aku pun menelantarkanmu ketika
engkau tua renta.” (Tuhfah al-Maudud hal.
125).
Orang
Tua Shalih, Anak pun Shalih!
“Hazm mengatakan, “Saya mendengar
al-Hasan al-Bashri ditanya oleh Katsir bin Ziyad mengenai firman Allah SWT “
“Ya
Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami
sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa.” (Al
Furqan: 74).
Katsir bin Ziyad bertanya kepada
al-Hasan, “Wahai Abu Sa’id, apakah yang dimaksud qurrata a’yun (penyenang hati)
dalam ayat ini terjadi di dunia ataukah di akhirat? Maka al-Hasan pun menjawab,
“Tidak, bahkan hal itu terjadi di dunia.” Katsir pun bertanya kembali,
“Bagaimana bisa?” al-Hasan menjawab, “Demi Allah, Allah akan memperlihatkan
kepada seorang hamba, istri, saudara dan kolega yang taat kepada Allah dan demi
Allah tidak ada yang menyenangkan hati seorang muslim selain dirinya melihat
anak, orang tua, kolega dan saudara yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah
‘azza wa jalla.” (Tuhfah al Maudud hal.
123).
Betapa indahnya, jika kita memandang
anak-anak kita menjadi anak yang shalih, karena hal itu salah satu penyejuk
pandangan kita. Namun yang patut kita perhatikan adalah faktor yang juga
mengambil peran penting dalam pembentukan keshalehan anak adalah keshalihan
orang tua itu sendiri.
Jika kita menginginkan anak-anak shalih,
maka kita juga harus menjadi orang yang shalih. Ada pepatah Arab yang bagus
mengenai hal ini,
“Bagaimana
bisa bayangan itu lurus sementara bendanya bengkok?”
Kita selaku orang tua adalah bendanya
sedangkan anak-anak kita adalah bayangannya. Jika diri kita bengkok, maka anak
pun akan bengkok dan rusak. Dan sebaliknya, jika diri kita lurus, maka insya Allah anak-anak akan lurus.
Allah SWT berfirman,
“Keturunan
itu sebagiannya merupakan (turunan) dari yang lain.” (QS.Ali Imran;3:34).
Maksud dari ayat di atas adalah orang tua
yang baik, sumber yang baik, insya Allah akan
menghasilkan keturunan yang baik pula.
Keshalihan orang tua juga akan memberikan
manfaat positif, karena Allah SWT akan
menjaga sang anak. Allah berfirman dalam surat al-Kahfi ayat 82,
“Adapun
dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan
di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah
seorang yang shaleh.” (QS Al
Kahfi;18:82).
Dalam ayat ini diberitakan bahwa
dikarenakan keshalihan orang tua, Allah SWT menjaga dan memelihara sang anak, serta
tidak mengecewakan orang tua. Oleh karenanya, keshalihan orang tua itu akan
berpengaruh pada sang anak, bahkan manfaat itu tidak terbatas pada sang anak
semata, tapi juga berdampak kepada cucu-cucunya sebagaimana diriwayatkan oleh
al-Hafizh Ibnu Katsirrahimahullah bahwa yang
dimaksud ” ÙˆَÙƒَانَ
Ø£َبُوهُÙ…َا صَالِØًا
” dalam ayat tersebut adalah kakek ketujuh dari dua anak tadi.
Kelak di surga, Allah SWT pun akan mengumpulkan sang anak bersama orang
tua mereka yang shalih, meskipun amalan sang anak tidak dibanding amalan orang
tua.
“Dan
orang-orang yang beriman, dan anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam
keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada
mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan
apa yang dikerjakannya.” (QS.Ath
Thuur: 21).
Maka disini, Allah SWT memasukkan anak-anak orang mukmin ke dalam
surga dengan syarat mereka juga beriman. Maka, betapa menyenangkannya, jika
kita berkumpul bersama keluarga kita di surga sebagaimana kita berkumpul di
dunia ini. Meskipun amal ibadah sang anak tidak sepadan dengan kedua orang
tuanya, amalnya kurang daripada orang tuanya, namun Allah SWT tetap memasukkan
keturunannya ke dalam surga. Karena apa? Karena keshalehan kedua orang tuanya.
Betapa pentingnya hal ini, yaitu
menjadikan pribadi kita, yaitu orang tua, menjadi pribadi yang shalih,
sampai-sampai salah seorang yang shalih pernah mengatakan,
“Wahai
anakku, sesungguhnya aku memperbanyak shalat karenamu (dengan harapan Allah
akan menjagamu).”
Ada seorang tabi’in yang bernama Sa’id
ibn al-Musayyib rahimahullah juga pernah
berkata,
“Ada
kalanya ketika aku shalat, aku teringat akan anakku, maka aku pun menambah
shalatku (agar anak-anakku dijaga oleh Allah SWT).”
Maka, mari kita menjadikan diri kita
sebagai pribadi yang baik, taat kepada Allah SWT dan shalih, kita jalankan
perintah-perintah Allah SWT dan meninggalkan larangan-larangan-Nya dengan
harapan nantinya Allah SWT menjaga dan
memelihara anak-anak kita.

Tidak ada komentar: