OLEH-OLEH HAJI YANG IKHLAS

 OLEH-OLEH HAJI YANG IKHLAS
Oleh. Prof. Dr. Syamsul Arifin, M.Si 
(Wakil Rektor 1 Univ. Muhammadiyah Malang)

 


Di Bandar Udara Istanbul dan Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, tetapi bukan di Bandar Udara Francisco Sá Carneiro, Porto dan Bandar Udara Adolfo Suárez Barajas-Madrid, saya menjumpai banyak orang, yang kalau tidak menuju ke Makkah pikir saya begitu, atau mungkin baru pulang. Dari satu dan dua orang di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta tersebut, diperoleh jawaban bahwa mereka baru saja dari umrah.

 

Di Bandar Udara Istanbul, bisa dipastikan mereka akan melaksanakan Umrah. Baju ihram yang dikenakannya adalah petunjuk yang nyata. Kamal, orang Turki, kawan saya, bukan nama sebenarnya, berseloroh, “Apakah mereka dijamin masuk surga?”

 

Saya merespons Kamal dengan cara jenaka. Saya tidak kaget dengan lontaran Kamal. Saya teringat tiga bacaan.

 

Pertama hadist yang pernah saya pelajari sewaktu di madrasah tsanawiyah, sekolah menengah setara SLTP atau SMP. Pada pelajaran Qur’an-Hadist, ada salah satu hadist yang terus saya ingat hingga sekarang. Hadist Muflis namanya.

 

Dinamai demikian karena Rasulullah SAW menjelaskan ihwal kebangkrutan kepada para sahabat secara dialogis. Rasulullah SAW bertanya tentang orang yang bangkrut (muflis). Jawaban para sahabat sebagaimana umumnya. Disebut bangkrut karena ketiadaan uang dan harta. Padahal yang dimaksud bangkrut oleh Rasulullah SAW adalah orang yang  nanti pada hari perhitungan—entah kapan terjadinya—amal ibadah mahdhahnya tidak hanya tergerus bahkan minus serta menjadi pendosa yang diakibatkan oleh akhlak (prilaku)nya yang buruk kepada orang lain. Orang semacam ini, tegas Rasulullah SAW, kelak akan menghuni neraka.(HR. Muslim. Ahmad dll, hadits dari Abu Hurairah ra)


Saya tidak tahu apakah Kamal pernah belajar atau paling tidak mendengar hadist muflis ini. Saya juga tidak mengonfirmasi pengetahuannya tentang hadist bahwa orang bisa masuk surga dan terhindar dari neraka, alih-alih karena amalnya, tetapi semata-mata berkat rahmat Allah SWT. Tentu hadist ini jangan dipahami secara harfiyah.

 

Bacaan atau rujukan kedua saya adalah Ibnu Athaillah al Sakandari. Dalam al-Hikam, salah satu kitabnya yang masyhur termasuk di Indonesia, tokoh sufi yang hidup pada masa dinasti yang dibangun para budak sehingga disebut dengan Dinasti Mamluk, mengatakan, “Amal itu kerangka yang tegak dan ruhnya adalah adanya rahasia keikhlasan di dalamnya.”


Syaikh Prof. Dr. Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah mengatakan, “Ikhlas dalam beramal karena Allah ta’ala merupakan rukun paling mendasar bagi setiap amal salih. Ia merupakan pondasi yang melandasi keabsahan dan diterimanya amal di sisi Allah ta’ala, sebagaimana halnya mutaba’ah (mengikuti tuntunan) dalam melakukan amal merupakan rukun kedua untuk semua amal salih yang diterima di sisi Allah.” (Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 49)


Tidak mudah meraih ikhlas. Selalu ada distraksi yang dapat menggeser motif kita dalam melaksanakan ibadah. Distraksi itu antara lain berupa riya dan tasmi’ seperti diingatkan Syekh Izzuddin bin Abdussalam, ulama yang dijuluki sebagai pemimpin para ulama (sulthan al- ulama). Ulama yang beberapa kali diapresiasi setinggi langit oleh Gus Baha—sapaan akrab K.H. Ahmad Bahauddin Nursalim—itu dalam Maqashidur Ri’ayah pada bab Cara Mendekati Allah SWT menulis begini, “Betapa banyak orang yang melakukan amal yang secara lahiriah adalah ketaatan tetapi hatinya menyimpan riya, hasad, niat buruk, sombong, bangga diri dengan amal kepada manusia (al-i’jab), dan membaggakan ketaatan kepada Allah (al-idlal). Memperkuat pernyataannya ini, dinukillah al-Kahfi ayat ke-104, “Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.”  Pada bab Tingkatan Riya dan Tasmi’. Tasmi’ adalah menceritakan ibadah kita kepada orang lain. Tasmi’ bisa menggerus keikhlasan dalam ibadah.

 

Dulu, tasmi’ dilakukan secara verbal, dari mulut ke mulut. Sekarang, medianya kian revolutif. Filsuf kontemporer tanah air, F. Budi Hardiman menulis buku yang menggugah eksistensi kita. Judulnya  Aku Klik maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital. Hanya dengan klik di smart phone kita, aktivitas ibadah kita,  lengkap dengan gambar tempat kita beribadah, tersebar ke semesta maya hanya seketika. Dan secepatnya muncul respon, entah dalam wujud emoji atau kata singkat seperti: subhanallah, alhamdulillah, dan sejenisnya. Membaca buku dari penulis prolifik di bidang filsafat itu, saya lantas merenungi ihwal keautentikan manusia di semesta medsos. Termasuk tergerusnya kemurnian ibadah oleh medsos, juga menjadi renungan saya.

 

Kerena begitu pentingnya ikhlas, Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi, atau lebih dikenal sebagai Imam Nawawi—bedakan dengan Imam Nawawi al Bantani—kitab yang ditulisnya, Riyadhus Shalihin, diawali dengan paparan hadist tentang ikhlas.

 

Syaikh Izzudin bin Abdussalam adalah bacaan ketiga yang saya ingat ketika mendengar lontaran Kamal di Bandar Udara Istanbul saat mengantar saya check in untuk melanjutkan penerbangan ke Bandar Udara Francisco Sá Carneiro, Porto.

 

Antara saya dengan Kamal rupanya terjadi perbedaan interpretasi ketika menjumpai orang-orang yang mengenakan baju ihram. Kamal melontarkan ungkapan yang mungkin gambaran dari religiusitasnya yang reflektif, kritis, dan substantif. Sementara saya sebenarnya membuat interpretasi tentang kemudahan umrah dan haji pada era sekarang, kendati pada kasus haji harus menunggu beberapa tahun lagi, bahkan bisa hingga tiga dekade, mungkin bisa lebih, sejak tahapan pendaftaran hingga keberangkatan. Saya katakan mudah, setidaknya kemudahan secara relatif, karena umrah dan haji bisa dilakukan dengan durasi yang tidak lama bahkan dalam hitungan waktu yang cepat.

 

Pada kasus haji, misalnya, waktu yang dibutuhkan rata-rata 30-40 hari, terhitung pula waktu keberangkatan dan kepulangannya. Dari segi waktu dan hal-hal lainnya yang terkait dengan haji, berbanding jauh dengan haji “tempoe doelo”. Saya punya buku Naik Haji di Masa Silam, versi terjemahan buku yang disusun Henri Chambert-Loir. Buku yang merekan peristiwa haji mulai tahun 1482-1890  (jilid 1), 1954-1964 (jilid 2), dan 1954-1964 (jilid 3) antara lain bercerita waktu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan ibadah haji.


Syekh Yusuf Makassar, misalnya, butuh waktu hampir dua bulan hanya untuk keberangkatan ke Jeddah hingga kemudian tinggal di Tanah Arab selama dua dekade. Sementara waktu keberangkatan yang dibutuhkan pada saat ini, misalnya dari Surabaya ke Jeddah atau Madinah, hanya sekitar sepuluh jam. Kendati singkat, tetap saja melelahkan. Bagaimana kesulitan dan kelelahan yang dialami oleh mereka yang haji pada era haji “tempoe doeloe”?

 

Ibnu Qayyim al-Jauziyah, ulama besar bermazhab Hambali, dipengaruhi secara kuat oleh Ibnu Taimiyah, hidup pada 1292 M hingga 1349 M. Salah satu warisan paling berharga adalah kitab Zadul Ma’ad. Kitab ini tergolong dalam kitab atau kepustakaan sirah nabawi. Tetapi yang unik, kitab ini juga menjadi pegangan dalam melaksanakah ibadah sebagaimana sunnah Nabi. Maka kitab ini bisa disebut juga sebagai kitab fiqh. Kapan Zadul Ma’ad ditulis? Ibnu Qayyim menulisnya pada saat dalam perjalanan (safar) haji dari Demaskus ke Mekah dengan mengendari unta. Ada cerita, dalam perjalanan haji itu, Ibnu Qayyim sama sekali tidak membawa referensi. Kendati demikian, ditambah kesulitan lainnya selama safar, Ibnu Qayyim mampu menghadirkan kitab tebal yang berjilid-jilid, yang tidak hanya jadi rujukan umat Islam, tetapi abadi hingga kini.

 

Beberapa tahun sebelumnya, Muhyiddin Ibn al-Arabi, tokoh sufi yang dijuluki Syaikh Akbar, asal Murcia Spanyol, melakukan safar atau perjalanan haji, tepatnya pada 1202. Jarak yang ditempuhnya lebih jauh dari jarak yang ditempuh Ibnu Qayyim. Demikian juga kesulitan yang dihadapinya.

 

Namun demikian, sebagaimana Ibnu Qayyim,  Ibnu Arabi meninggalkan oleh-oleh haji yang juga abadi hingga kini, yakni berupa  Kitâb Al-Futūḥāt al-Makkiyya, juga berjilid-jilid. Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tetapi baru sebagiannya.

 

Pelajaran moralnya, sesulit apa pun situasi yang dihadapi seseorang, termasuk dalam perjalanan haji, tetap saja mampu menghasilkan karya fenomenal dan abadi. Oleh-oleh haji yang unik dan autentik.


Selesai ditulis di Ball Room Hotel Rayz Malang, 22 Mei 2023.


OLEH-OLEH HAJI YANG IKHLAS  OLEH-OLEH HAJI YANG IKHLAS Reviewed by sangpencerah on Juni 08, 2023 Rating: 5

Tidak ada komentar: